Hari itu bukanlah pertandingan pertamaku
sebagai kiper di tim kelasku. Tapi hari itu merupakan salah satu hari yang tak
terlupakan. Hari ketika kelasku, X-1 melawan X-Akselerasi pada acara class meeting semester II.
Masih ku ingat hari itu juga adalah salah
satu hari kelabu bagiku. Hari ketika aku terserang penyakit. Penyakit yang
sering menghantui anak Adam usia 14 - 20 tahun. Penyakit anak muda, kegalauan
tiada tara tanpa pencerahan.
Sungguh, sangat alay. Tapi biarlah seperti
itu, aku pernah SMA, aku pernah ababil, dan mungkin juga sekarang masih seperti
itu. Sangat memalukan sebenarnya, tapi tentu kalian juga punya masa-masa tanpa
pencerahan itu kan, Kawan? Jadi biarkan saja seperti itu. Biarkan alay seperti
itu, hahaha.
Saat itu rasa percaya diriku merosot,
terperosok dalam jurang. Saat menuju lapangan pun aku berada di belakang
sendiri dari teman-temanku. Melihat ke bawah. Berpikir. Bukan tentang pertandingan tapi
tentang yang lain.
Aku sangsi jika teman-teman ku waktu itu
tahu jika saat itu aku terpuruk. Besar curigaku mereka hanya menganggapku
tegang, nervous sebelum bertanding. Jadi, mereka cuek saja.
Sebelum bertanding, ketika masuk lapangan,
hanya satu yang ada dalam pikiranku tentang pertandingan. Tidak kemasukan gol
lebih dari satu sudah cukup memuaskan bagiku. Sungguh. Bagaimana bisa aku tidak
berpikir seperti itu jika seperti inilah gambaran kondisiku :
Pertama, kepercayaan diriku berada di level
minus. Jelaslah modal pertama sebagai seorang kiper hilang. Kedua, karena itu,
motivasi ku pun ikut drop. Aku berdiri ogah-ogahan. Berlari mengambil bola yang
masuk ke gawang saat latihan sebelum bertanding juga ogah-ogahan. Ketiga, tanpa
mengurangi rasa hormatku pada X-Aksel, walau di atas kertas kami bisa menang
mudah, X-Aksel mempunyai Syaiful. Syaiful adalah salah satu Kawan ku yang luar
biasa ketika kami bersama-sama melewati sebuah kepanitiaan yang sakral. Dan ia
seperti Cahyo-nya X-Aksel, bisa sangat berbahaya dan merusak semuanya.
Kondisnya bisa jadi lebih kritis saat X-Aksel dapat mencetak gol lebih dulu dan
memporak-porandakan semangatku jauh lebih drop lagi.
Dari ketiga kondisi itu seharusnya sudah
cukup alasan bagiku untuk kebobolan lebih dari satu kali. Tapi, aku belajar
tenang saat itu. Tak ku tunjukkan emosi ku. Oleh karena itu aku berpikir hanya
kebobolan satu sudah memuaskan, karena aku masih memiliki ketenangan yang
berusaha aku tancapkan di hatiku.
Tick tock tick tock. Time was up!
Pertandingan di mulai. Aku antara focus dan tak fokus. Saat Anta meninggalkan posnya pun
aku diam saja. Sungguh kondisi yang membahayakan. Kami sebenarnya mengotrol
pertandingan di menit-menit awal babak pertama seperti di atas kertas.
Namun, situasi berubah. Entah mengapa kami
tertekan. Ku lihat sedikit kepanikan dari teman-temanku, tapi aku berusaha
tenang, tapi tetap tanpa rasa percaya diri. Sehingga aku hanya berdiri tegak,
bahkan tanpa kuda-kuda persiapan untuk melompat menangkap bola jika bola
ditendang ke arah gawangku. Kritis!
Benar saja, Syaiful menendang bola. Aku tak
kaget, tangan ku sudah siap menepis bola. Namun, sebelum bola menyentuh
tanganku, bola tersebut menyentuh tangan orang lain.
"Pprriiittt..."
Suara peluit wasit. Aku tercengang. Seluruh
anggota kelasku yang ikut melihat pertandingan juga tercengang. Ya ampun, itu
Made! Itu tangan Made! Pinalti! Shit, shit, shit!
Made melihatku, aku melihatnya. Jelas ia
bersimpati, berduka lebih tepatnya. Tapi apalah daya, aku yang akan menghadapi pinalti
ini. Seluruh anggota kelasku yang melihat itu pinalti hanya bisa terdiam. Aku juga
seperti itu, diam. Namun, aku berusaha tenang. Inilah pelatihanku, inilah yang
seharusnya ku tunggu.
Ku tebak Syaiful yang akan mengambil tendangan itu.
Dan benar saja, Syaiful yang akan mengambil. Ini masih pertengahan babak
pertama. Jika kami kebobolan, maka kami dalam pressure, bisa drop malah mental
kami dan kebobolan lebih banyak gol lagi. Apalagi melihat kondisiku yang “ngenes” memprihatinkan. Dan apa
yang ku takutkan pada poin ketiga bisa menjadi nyata.
Syaiful bersiap. Dia
mengambil ancang-ancang. Dia berlari untuk menendang. Saat berlari itulah aku
berpikir. Ada dua hal yang bisa ku lakukan dalam kondisi seperti itu. Pertama,
aku bergerak bersamaan saat Syaiful menendang dan mencoba menebak arah bola.
Kedua, aku diam terlebih dahulu menunggu arah bola baru bergerak. Ada beberapa
kemungkinan. Yang kutahu, tendangan Syaiful sangat keras. Jika aku ambil opsi
kedua, bisa-bisa aku tidak sanggup menggapai bola karena terlalu keras. Tapi
aku juga sangsi Syaiful bisa mengarahkan tendangan kerasnya dengan baik.
Kawan, ini adalah salah
satu keanehan yang ku miliki. Aku sendiri juga tak mengerti mengapa aku dapat
berpikir seperti itu, dalam kondisi
kritis dan waktu sesingkat itu, aku bisa memberikan kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi dan beberapa opsi tindakan yang bisa aku lakukan.
Akhirnya ketika Syaiful
akan menendang, tepat sebelum kakinya menyentuh bola, entah mengapa aku yakin
bahwa Syaiful tak mampu mengarahkan tendangannya dengan akurat, sehingga aku
menunggu arah bola baru bergerak. Duuukkkk!!!!
“AAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....!!!!!!!!!”
suara anak-anak cewek X-Aksel berteriak mengharapkan gol.
Shit! Tendangannya keras
sekali, namun untungnya arahnya mudah saja. Tepat di atas tengah hanya sedikit
bergeser ke kiri. Itu cukup mudah. Aku seharusnya bisa menangkap bola itu. Tapi
kau tahulah, Kawan, aku tak percaya diri, aku tepis bola itu dan hanya
menghasilkan tendangan sudut. Untungnya feeling ku tepat untuk memutuskan menununggu
arah bola.
Tiba-tiba saja,
“WWWWhhhhhhhhhooooooooooooooaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!”
Bergemuruh, lapangan
bergemuruh. Suara tepuk tangan membahana seantero lapangan. Anak-anak cewek
kelasku berteriak keedanan hilang akal. Made tiba-tiba datang menjendul kepala
ku sambil tersenyum senang. Aku tak mengerti. Sedetik kemudian aku sadar. Semua
penonton sangat terhibur dengan drama pinalti tadi.
Oh indahnya. Rasa percaya
diriku mulai bangkit. Tapi aku tetap berusaha bersikap tenang. Tidak tersenyum,
dan juga tidak berteriak karena berhasil menggagalkan pinalti lawan. Aku
kembali berusaha fokus ke pertandingan, walaupun pikiranku masih galau. Ya
ampun, sungguh memalukan untuk diceritakan. Haha, tapi biarlah seperti itu.
Ketika babak pertama
berakhir, kami berhasil mencetak gol. Kami unggul 1 - 0 dibabak pertama. Saat
jeda itulah aku berpikir. Dan aku menyadari bahwa wah Made ini kurang ajar
sekali rupanya. Sudah handsball, membuat diriku harus berhadapan dengan
pinalti, setelah pinaltinya gagal dia malah njendul-njendul kepala ku. Hahaha,
kampret.
Tak lama babak kedua
berjalan, kami unggul 2 – 0. X-Aksel mulai bereaksi untuk mengejar ketinggalan.
Kami bertahan cukup dalam, dan X-Aksel memberikan permainan umpan-umpan
terobosan untuk membongkar pertahanan kami. Tentu sebuah usaha desperate bagi
mereka karena umpan mereka pasti selalu lebih dekat padaku sebagai kiper lawan.
Bahkan ketika ada umpan terobosan lawan yang tidak mengarah ke gawang dan
Syaiful mengejarnya, aku berpura-pura menendang bola itu, Syaiful melompat
untuk memblok, tapi bolanya aku biarkan keluar lapangan. Syaiful tertipu.
Aku mendengar anak Aksel
yang berkomentar saat aku ambil bola yang keluar lapangan,
“Limpat diganti ae iku,
haha,” dengan nada kesal sambil bercanda.
Ya ampun, sekeren itukah?
Aku melambung senang sekali. Galau ku lenyap ditelan kata-kata itu. Sekarang
apa lagi yang bisa ku harap? Tak ada alasan bagiku untuk galau kembali. Aku
masih kelas X dan mendapat sambutan teriakan penonton membahana seantero
sekolah. Luar biasa, apa lagi yang bisa ku harap sebagai siswa yang tidak
ganteng amat ini?
******
Tak jauh berbeda. Kelas XI
pun komposisi susunan pemain kelasku tetap sama. Aku tetap jadi kiper, dan Anta
tetap di belakang. Kali ini kami bertanding dalam kompetisi yang sama pula,
yaitu class meeting semester II. Lawan pertama kami XI – 7.
Kami confidence bahwa
kami akan meraih kemenangan. Tapi kami juga tidak percaya dengan cara semudah ini, kami sudah unggul 2 – 0 ketika
istirahat babak pertama. Kami sangat rileks. Sangat tenang. Bahkan kami sudah
unggul 3 – 0 ketika awal babak kedua. Namun justru setelah keunggulan 3 – 0 itu
membuatku tidak tenang. Karena, aku ingin bermain!
Ayolah, kita sudah unggul
cukup jauh. Ini sudah pertengahan babak kedua dan kita unggul sejauh ini. Berilah
aku kesempatan bermain. Aku minta tolong Ivan. Aku memanggilnya saat ada
kesempatan bola keluar lapangan, memintanya untuk bertukar posisi denganku.
Ivan tidak mau. Kampret.
Made? tidak mungkin. Dia
juga pasti kampret lagi, haha. Anta? Tidak, tidak. Dia harus tetap di belakang,
apapun yang terjadi. Entah itu gempa bumi, tsunami ataupun wabah polio, Anta
harus tetap di belakang. Tinggal Cahyo. Cahyo. Ya, Cahyo. Aku memanggilnya,
lalu mengisyaratkan aku ingin bermain. Dia melihatku, cukup lama. Aku memelas.
Akhirnya Cahyo bersimpati, dia mau.
Yes! Yes! God damn unbelievable!
I was playing, I was playing! Aku seperti anak kecil yang melihat kodok. Lucu, hijau berlumut, berlendir dan
menggemaskan. Sepertinya aku salah memberikan perumpamaan, tapi...who cares? I
was playing!
Aku langsung berlari ke
tengah agak ke kanan. Ivan harus pindah ke kiri. Aku tak peduli. Aku lebih
nyaman di kanan. Sorry, van. Tapi aku jarang bermain, jadi berilah temanmu ini
sedikit kesenangan, oke? Hahaha.
Permainan kami biasa saja
ketika aku tidak menjadi kiper ini. Apa yang kami harapkan coba? Sudah unggul
cukup jauh dan waktu tidak mungkin cukup untuk lawan mengejar ketertingggalan. Kami
juga masih mengendalikan permainan, terus sedikit menyerang.
Sempat kami kehilangan
bola saat awal-awal Cahyo menjadi kiper menggantikanku. Counter attack! Posisi
Cahyo terlalu kedepan, sangat jauh ke depan dan hampir sejajar dengan Anta. Dan
Cahyo terlihat seperti tidak akan menggunakan tangannya, namun menahan bola
dengan kaki. Yaelah, kampret juga lo yok.
Untungnya di situ ada
Phil Jones, tumben banget enak anak itu. Jadi gawang kami masih aman. Sangat
mengkhawatirkan memang, tapi aku ingin bermain. Jadi biar tetap Cahyo saja yang
di situ. Biarlah posisinya terlalu maju atau gimana, yang penting aku bermain.
Hahaha.
Selebihnya kami masih
menguasai bola. Hingga akhirnya bola jatuh di kaki ku. Aku yang berada di
tengah, melewati kawalan Probo, anak kelas XI – 7. Aku bawa bola ke sisi kanan
lapangan. Aku berusaha agak ke tengah lagi, namun dihalangi. Akhirnya aku sprint
menyisir sisi lapangan. Lalu aku crossing mendatar ke tengah. Lalu DES! Bola
masuk ke gawang setelah diselesaikan dengan tenang oleh Made dengan kaki kanan.
4 – 0!
Ini dia si anak besar
kampret yang berhasil menyelesaikan umpanku. Aku menunjuknya dengan sangat
senang, lalu tos seperti biasa. Luar biasa. Aku bermain dan juga langsung
berhasil seperti apa yang aku inginkan, mengkreasi peluang, memberi assist.
Luar biasa!
Keesokannya, kami bermain
lagi. Aku masih menjadi kiper lagi. Kami lawan kelas X. Aku lupa X apa, yang
jelas kelas X. Seperti yang telah diduga, mereka bermain sangat dalam dan mengandalkan
serangan balik dalam menyerang. Aku tahu terkadang itu bisa sangat berbahaya
karena sering kali Anta meninggalkan posnya untuk membantu serangan yang macet,
dan tak jarang aku memanggilnya untuk kembali.
Bagaimanapun juga kami
masih menguasai pertandingan. Lalu akhirnya datang petaka itu. Lawan mendapat
throw in, mungkin buka throw in ya istilahnya dalam futsal, tapi terserahlah,
pokoknya itu. Tidak berbahaya sebenarnya. Tendangannya mengarah ke gawang,
berusaha memberikan set piece kepada striker, namun sama sekali tidak
berbahaya. Aku juga sudah siap dalam posisi yang tepat untuk menangkap dan
memotong arah datangnya bola.
Namun alih-alih bola
jatuh kepelukanku, bola justru berbelok setelah membentur kepala seseorang.
Terang saja bola berbelok dan masuk ke gawang ku dan aku tak bisa
mengantisipasi yang telah terlanjur bergerak. Dan yang tidak bisa dipercayanya
lagi adalah...shit! Itu kepala Made! Bunuh diri! Entah mengapa Made sering
merepotkanku dengan futsal ini, layaknya Cana dengan beat yang ia ciptakan di
cerita Made by The 90’s.
Secara mengejutkan lawan
unggul lebih dulu. Tentu semua terhenyak, tapi tidak dengan kelas X yang senang
dengan gol itu. Made tersenyum meminta maaf agar tidak larut dalam down, tapi
aku berusaha biasa saja. Aku berusaha tidak terlihat kecewa ataupun marah. Sangat
penting dalam kondisi seperti ini untuk tidak larut dalam emosi. Inilah salah
satu pelatihan yang ku nanti.
Selebihnya, lawan
terlihat ingin mempertahankan keunggulan hingga babak pertama berakhir dan tak
terlihat ingin memberikan counter attack. Namun, lewat variasi serangan
pertama, kami berhasil menyamakan keunggulan. Aku yang mengoper pendek bola ke
Cahyo, digiring bola itu sendirian oleh Cahyo dan menembak bola itu sendiri. 1
– 1. Babak pertama berakhir.
Babak kedua dimulai. Lawan
masih menerapkan strategi yang sama seperti awal babak pertama. Bertahan, namun
tidak sepenuhnya bertahan. Sesekali menyerang dengan serangan balik, walaupun
bisa dipatahkan. Pertengahan babak kedua, kami masih buntu. Masih 1 – 1. Sering
kali juga Anta terlarut dalam penyerangan. Berkali-kali kuingatkan untuk
kembali. Karena jika saat itu kami
kecolongan satu gol saja, tamatlah kami.
Dan benar, apa yang aku
takutkan terjadi. Terjadi counter attack. Anta terlewati dari sisi kanan
pertahanan. Kritis! Sang lawan menuju agak ke tengah menyongsongku. Disebelah
kirinya, agak belakang, juga ada temannya siap men-support. Kulihat Cahyo,
Anta, Ivan berlari sekuat tenaga untuk kembali. Aneh memang, di tengah kondisi
kritis seperti itu aku masih melihat hal-hal yang tak perlu.
One on one! Tentu sebagai
pertahanan standar kiper, aku maju untuk menutup ruang tembak lawan. DUKKK! Bola
ditendang, secara bersamaan aku reflek menjatuhkan tubuhku ke arah kiri ke arah
tiang jauh. Fuck! Bolanya meluncur menyusur tanah ke kanan, tiang dekat! Fuck,
fuck, fuck! Lalu tiba-tiba saja DES! Kaki kananku yang masih berada di sisi tiang
dekat berhasil memblok bola!
“AAAAAaaaaaaaaaaaaa......”
suara penonton cewek tim ku dan tim lawan berteriak kencang histeris.
Namun semua itu tidak
berhenti. Bola menuju teman lawan yang berada di sisi kirinya. Dia menendang
kembali DUKK! Shit! Aku reflek maju sedikit dan langsung membalikkan arah
tubuhku ke arah kanan, dan DAK! Kedua tanganku memblok bola dari tendangan
kedua lawan.
“AAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!”
kali ini suara lebih histeris dari sebelumnya.
Lalu bola hasil tepisanku
menuju sisi kanan dan keluar dari lapangan. Counter attack yang menakutkan itu
berhenti. Lalu lapangan bergemuruh,
“YYEaaaaaaaaaaaaaa.....WHHHOooooooooooooiiii!!!!!!!!!”
Tepuk tangan dan suara penonton
membahana. Keras sekali. Meriah! Juga terdengar suara teman-teman cewek kelasku
teriak-teriak gak karuan memanggil namaku. Aku melambung. Makanan dalam perutku
terasa menyundul-nyundul diafragma karena berat organ pencernaanku yang terasa
sangat ringan.
Aku berusaha bersikap
tenang saja dengan suara penonton itu. Aku tidak berteriak puas setelah
menghentikan serangan ganas itu. Aku hanya berdiri biasa. Berusaha tanpa
ekspresi, walaupun di dalam hatiku puas sekali. Ingin rasanya aku tersenyum
lalu melambai ke arah penonton yang cukup lama bertepuk tangan. Tapi untungnya
aku tidak melakukan hal bodoh itu, Kawan.
Lalu mendengar suara-suara
yang memanggil histeris namaku itu, aku masih mencoba bersikap biasa, tanpa
ekspresi. Terlihat mengacuhkan suara itu, walaupun dalam hati aku ingin rasanya
senyum tiada henti. Dan oh ternyata tak perlu jauh-jauh pergi ke langit ke
tujuh menuju surga untuk mendapat kebahagiaan, dengan ini saja, aku sudah
merasa terbang melewati langit ke tujuh itu. Hahaha, memalukan, tapi biarkan
seperti itu.
Ketika suara-suara itu
belum berhenti, aku masih berusaha tidak menunjukkan emosi. Berusaha tidak
menunjukkan ekspresi. Berusaha terlihat kalem dan cool. Aku malah memberikan
instruksi pada Cahyo dengan tampang serius untuk menjaga sisi tiang jauh, dan tidak ingin
kecolongan lewat set piece yang konyol lagi.
Ya ampun, aku terlihat
sangat keren waktu itu. Sungguh. Sedikit memalukan memang, berpura-pura menahan
senyum dan perasaan senang luar biasa agar terlihat keren. Hahaha, tapi biarlah
seperti itu. Biarkan saja kenangan lucu itu seperti itu.
Pertandingan berjalan
kembali. Set piece mereka tidak berjalan bagus, jauh melebar di sisi kiri
gawang. Lalu kami menyerang seperti biasa. Aku ingin perjuanganku tadi berakhir
manis dengan kemenangan. Dan benar saja, Cahyo mencetak gol lagi, lewat variasi
serangan yang sama pula. Kelas kami bergemuruh. Aku yang melihat gol itu
mengangkat kedua tanganku sambil berteriak kegirangan pula.
Lalu aku tersadar, aku
telah menunjukkan emosiku. Damn! Aku, sekali lagi, harus gagal dalam usaha
menjadi orang keren menurutku, yaitu menjadi orang yang mampu menyimpan
emosinya. Dan aku yakin pada waktu itu bahwa aku akan menyesali perbuatanku
itu. Berikutnya, terdengar nama Cahyo yang diteriakkan dengan nada histeris
oleh teman-teman cewek kelasku.
******
Di sekolahku dulu, saat
aku kelas XII ada pertandingan futsal antar generasi layaknya sebuah liga.
Namanya SPL (Smala Premier League). Generasi (biasanya disingkat gen) mungkin
bagi kalian yang belum tahu, Kawan, generasi di sekolah ku adalah sebuah
gabungan kelas X, XI, dan XII dari tiap-tiap urutan kelas. Jadi contohnya
Generasi Satu, itu berarti terdiri dari X – 1, XI – 1, dan XII – 1. Generasi
Dua terdiri dari X – 2, XI – 2, dan XII – 2. Begitu seterusnya.
Karena membela panji
generasi, maka yang bermain harus terdiri dari tiga angkatan, di mana
masing-masing angkatan maksimal dua orang yang boleh bermain di lapangan. Waktu
itu, aku yang merupakan Genji (nama dari gen satu) akan menjalani pertandingan
pertama melawan gen 9.
Pertandingan pembuka,
sangat penting untuk mendapat tiga poin pertama. Saat pertandingan akan
dimulai, semua berkumpul di lapangan tengah. Sangat ramai, semua siswa
berkumpul di generasinya masing-masing, suasana yang begitu meriah luar biasa.
Ketika bersiap-siap, aku bermain dengan bola, lalu tiba-tiba cewek teman
kelasku bilang,
“Kamu kiper ae pat.”
“Emoh. Emoh, aku ingin
main,” jawabku singkat sambil berlalu.
Aku sedikit keras kepala.
Biar saja. Aku kelas XII. Waktuku sedikit. Aku ingin bermain. Apapun alasannya.
Aku juga sudah mengisyaratkan ke yang cowok bahwa aku ingin main. Lagi pula
akan aku tunjukkan bahwa aku juga bisa bermain dan membuktikan pada temanku
itu. Kata-katanya yang menyuruhku menjadi kiper lagi adalah sebuah lecutan
pribadi bagiku saat melawan gen 9 ini.
Dari kelasku, biasanya
yang ikut bermain SPL adalah Cahyo, Ivan, Made, dan aku. Karena tiap angkatan
maksimal dua yang bermain, tentu saja aku tidak bisa starter. Tak peduli
bagiku, yang penting aku bermain. Biasanya yang menjadi starter dari kelasku
jika tidak Cahyo – Ivan, ya Cahyo – Made. Tak masalah memulai dari bangku
cadangan bagiku. Tak ada masalah sama sekali.
Pertandingan melawan gen
9 ini seharusnya berjalan mudah. Dan memang seperti itu kejadiannya. Babak
pertama berakhir dan kami, genji, sudah unggul 2 – 0. Babak kedua berjalan
sebentar, lalu Made keluar dan aku masuk. Here I went. Aku masuk, bermain.
Ya ampun, dapat bermain
saja sudah membuatku senang. Aku seperti biasa, di tengah, namun agak ke kanan.
Beberapa menit saja dan aku bisa mendapat peluang. Aku mendapat bola. Aku
melewati satu pemain di sisi kanan lapangan, lalu sprint. Lawan yang telah ku
lewati berusaha memberikan tekanan tapi tiada guna karena sudah di belakang.
Sekarang aku dalam posisi one on one dengan kiper lawan!
Saat aku akan menendang
bola, anehnya inilah yang bisa aku pikirkan. Kiper lawan namanya adalah Gopal.
Kiper yang bagus dengan refleknya. Jika dalam posisi seperti ini, ketika aku
menendang bola, pasti dia akan reflek menjatuhkan tubuhnya ke sisi tiang jauh,
di sisi kiri ku. Kawan, itu merupakan reflek standar seorang kiper untuk
menggerakkan badannya ke sisi tiang jauh. Itu berarti, jika aku menendang di
bagian tiang dekat sebelah kanan, dia sudah tertipu.
Pengalamanku yang bisa
menggagalkan bola dengan kaki saat menjadi kiper beberapa bulan yang lalu juga
memberikanku ide untuk menyelesaikan peluang ini. Itu artinya aku tidak boleh
menendang bola menyusur tanah. Intinya, tendang bola ke tiang dekat, sedikit
dicukit, dan akan terjadi gol, semudah itu. Tidak perlu menendang keras
sejadi-jadinya yang malah bisa saja bolanya keluar dari target dan membuang
peluang.
Maka ketika aku menendang
bola, DUK!! Tidak keras sama sekali, justru terlihat seperti dicukit sedikit.
Dan benar saja, gol dengan mudahnya. Memang bolanya sedikit menyentuh kaki Gopal
(bagian paha lebih tepatnya), namun bola masih berjalan mulus menggetarkan
jaring lawan. 3 – 0!
Aku yang menyadari itu
berteriak kegirangan. Aku menggerakkan tinjuku di udara sambil melompat.
Memang, Kawan, jika bermain, aku emosional, dan itu tidak apa-apa. Hahaha. Yang
penting aku sudah menunjukkan aku bisa bermain, dan aku mencetak gol. Tak lama
setelahnya, Made masuk untuk yang kedua kalinya dan menggantikanku. Tidak ada
masalah bagiku bermain sebentar, atau pun tak menjadi starter, yang penting aku
bermain.
Saat itu, pada akhirnya,
kami berhasil menang empat gol tanpa balas.
Gameweek ke 2 SPL. Genji
melawan gen 7. Ini akan sedikit ketat. Tapi kami tak gentar. Dan tentu saja aku
tidak starter lagi, haha. Babak pertama berakhir dan kami hanya unggul 1 – 0. Pertengahan
babak kedua aku masuk. Masih sama seperti sebelumnya. Lewat pergerakan yang
sama, aku mendapat peluang. One on one dengan kiper lagi. Aku lupa kipernya
siapa waktu itu, tapi yang jelas ia lebih tangguh. Ia tidak akan mengandalkan
reflek, dia akan bergerak setelah melihat pergerakan bola. Nah itu cukup sulit.
Akhirnya aku mencoba
tipuan, seperti Cristiano Ronaldo yang menendang pinalti, saat akan menendang
ia berhenti sebentar, menunggu kiper terkecoh. Itu pula yang ku lakukan, namun
shit-nya, ia tak terkecoh. Memang ada sedikit gerakan tapi ia belum mati
langkah. Kampret.
Akhirnya, kuputuskan saja
waktu itu sebelum aku membuang peluang dengan percuma. Aku tendang bola sekeras
yang aku bisa. Tidak di tiang dekat, namun tepat di tengah, hanya saja sedikit
mengarah ke tiang jauh. Bola hasil tendanganku dapat ditepis, namun lebih
dikarenakan pengarahan bola yang setengah-setengah daripada kerasnya tendangan
bola, hasil tepisannya tidak sempurna. Bola masih meluncur ke gawang.
Ya ampun! Gol lagi. Lihat
itu, Kawan. Gola lagi! Oh betapa senangnya aku. Aku selebrasi menunjuk ke arah
suporter genji. Bukan berarti aku mendedikasikan gol ku untuk genji, namun maksud
utamaku adalah, lihatlah aku bermain, Kawan! Aku bisa berkontribusi selain
menjadi kiper. Dua pertandingan dan dua gol, tidaklah buruk bukan untuk seorang
pemain yang terkadang terbantu oleh keberuntungan ini?
Gameweek ke 3 SPL. Genji
melawan gen 6. Ini pertandingan sulit. Semacam big match karena kedua tim belum
pernah kalah dalam dua laga terakhir dan selalu meraih kemenangan. Dan memang
pada kenyataannya gen 6 termasuk tim yang kuat.
Aku masuk pertengahan
babak pertama. Nothing changed. Skor kacamata masih mengakhiri babak pertama.
Lalu aku keluar ketika babak kedua. Ketika waktu sudah memasuki 2/3 babak
kedua, aku masuk lagi. Skor juga masih kacamata.
Kami dalam tekanan hebat
saat itu. Namun seperti biasa, aku berada di posisi favoritku, berada di
tengah. Siap membaca pergerakan aliran bola lawan. Dan ketika itu, saat itu,
aku membaca aliran bola mereka. Terbaca! Umpan mereka berhasil ku potong!
Langsung saja aku berlari membawa bola ke depan di tengah-tengah lapangan.
Di depanku sudah menunggu
pemain bertahan lawan yang di tinggal sendirian bersama kiper. Sedikit
kupelankan kecepatanku, sekalian menunggu datangnya kawan dari belakang. Terlalu
lama datangnya support, akhirnya aku mencoba menggocek bola. Aku berhasil
melewatinya, dan aku berlari menuju sisi kanan lapangan seperti biasa. Lalu
ketika lawan berusaha menutupku, aku sudah melihat Cahyo berdiri bebas di
tengah tanpa kawalan. Langsung saja aku cross bola mendatar.
Shit! Kiper lawan sudah
membaca! Dia menunggu di depan Cahyo. Cahyo yang terlihat sedikit bingung,
tiba-tiba saja mendengar suara dari seorang pemain tim kami yang maju membantu
serangan,
“Mas! Mas!”
Sambil menunjukkan gestur
untuk mengoperkan bola padanya. Cahyo langsung saja mengoper, lalu DESS!!
Ramzy, Ramzy adik kelas ku, kelas X, menendang bola. Kiper yang sudah mati
langkah ketika bola dioperkan Cahyo ke Ramzy tak berkutik. Jala gawang lawan
bergetar! GOL! Luar biasa, kami semburat tak karuan menuju suporter genji,
beramai-ramai cenderung anarkis. Aku pun demikian, haha. Akhirnya, pertandingan
berakhir. 1 – 0, kemenangan untuk kami! Luar biasa! Tiga pertandingan, dua gol,
dan satu key pass!
******
Sekarang, aku juga masih
ikut tim futsal, setidaknya di program studi angkatanku ini. Untungnya bukan
kiper lagi. Dan sepertinya peluangku kecil untuk kembali pada posisi kampret
itu. Karena kiper kami, Ian, adalah kiper utama dulu di tim futsal sekolahnya.
Kemampuannya tak perlu diragukan. Jika Ian tidak bisa, masih ada Jaya, anak
dari Bontang yang dulu ketua OSIS di SMA-nya. Jika Ian jadi kiper, maka Jaya
biasanya bermain. Jika Ian dan Jaya tidak bisa, masih ada Ario, anak asli
Lombok.
Dua slot dibelakang pasti
diisi Iif dan Ihsan, dua slot tersisa di depan biasanya bergantian antara Sambo
anak Papua, Jaya, dan aku. Saat ini, aku berusaha lebih kalem dalam bermain.
Tidak meledak-meledak setelah setelah mencetak gol, atau setelah memberi assist
dan key pass, dan juga tidak meledak-meledak ketika merayakan gol
teman-temanku. Bagaimanapun juga, aku berusaha untuk menghilangkan emosi, di
mana pun itu. Dan walaupun aku biasanya bukan starter juga, bukan masalah. Intinya,
sedapat mungkin aku menghindari posisi Lev Yashin itu.