Kelasku, waktu SMA dulu, cowoknya hanya
sebelas dari dua puluh sembilan homo sapiens yang telah berevolusi. Sebuah
kesebelasan. Pas untuk bermain sepak bola. Namun pada faktanya, hanya delapan
orang dari kami yang tertarik dengan sepak bola. Dan hanya 5-6 orang yang
tertarik untuk bermain sepak bola.
Untungnya, karena di sekolah ku tidak ada
lapangan sepak bola, maka futsal merupakan alternatif bagi para civitas
academica cowok sekolahku. Sehingga keenam cowok di kelasku ini merupakan
jumlah yang ideal untuk sebuah tim futsal plus satu cadangan. Dan juga, keenam
cowok ini pula yang biasanya menjadi delegasi tim kelasku saat ada pertandingan
futsal antar kelas.
******
Keenam orang ini adalah Cahyo, Ivan, Made,
Anta, Rio, dan aku. Sebenarnya ada pemain ketujuh, yaitu Dimbo. Namun
seingatku,Dimbo, dalam tiga tahun kita sekelas, hanya 1-2 kali saja pernah
bermain dalam tim futsal kelas kami dalam pertandingan resmi antar kelas.
Itupun dikarenakan beberapa pemain yang "inti" itu tidak bisa ikut
bermain.
Tentu kalian tak lupa akan Ivan, Made, dan
Rio yang telah ku ceritakan di Made by The 90's. Ivan dengan kepala berbentuk
kacang oak-nya, Made dengan tubuh atletisnya, dan Rio dengan perpaduan
kepintaran dan jiwa seninya. Oleh karena itu tak perlu ku ceritakan tentang
mereka lagi, tapi sepertinya aku perlu sedikit mendeskripsikan tentang Cahyo
dan Anta.
Dwi Cahya S, Seperti yang telah ku
ceritakan sedikit di Made by The 90's, merupakan cowok yang flamboyant. Cahyo,
panggilannya, merupakan arek olahraga asli. Arek lapangan. Jika pagi hari tidak
ada di kelas maka cari ia di lapangan. Jika tidak ada di lapangan, maka cari ia
di kantin. Sungguh tipikal anak SMA yang agak "mbleyer".
Entah mengapa ia senang sekali potong
cepak, model tentara. Dan memang pada kenyataannya ia memiliki stamina yang
kuat saat olahraga. Ia juga merupakan tim inti basket SMA. Cahyo juga lucu dan
menyenangkan. Intinya Cahyo adalah arek gaul masa kini.
Erdianta Valenski. Panggilannya Anta.
Anaknya putih tinggi dan sedikit Cina. Putih, cowok. Cowok, putih. Jelas, anak
rumahan. Berbeda 180o dengan Cahyo.
Anta sebenarnya adalah temanku SMP. Bahkan
kelas kami bersebelahan. Namun, waktu itu Anta berkhianat, keluar dari SMP ku
dan pindah ke SMP terbaik di Surabaya. Anta adalah penjahat perang bagi SMP ku,
tapi aku biasa saja sebenarnya.
Oh iya, entahlah, Kawan, Anta ini sering
kali melakukan hal-hal aneh dan itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Berbeda
dengan tingkah aneh Ivan yang kadang dibuat-buat, anomali Anta ini lebih naif.
Jadi sepertinya dia tidak sadar jika yang dilakukannya itu tidak perlu dan
aneh. Dan ketika teman-teman kelasku tertawa karena tingkahnya, dia selalu
kebingungan apa sebenarnya yang salah dari dirinya. Ketika sudah dijelaskan,
maka responnya hanya,
"Oo.."
dengan wajah yang innocent. Selalu saja
seperti itu. Berulang-ulang. Selama tiga tahun. "Oo.." nya itu sangat
khas, nadanya agak meninggi pada "o" bagian terkahir yang mengalami
fade-out. Mungkin teman kelasku akan tertawa terbahak-bahak jika membaca ini
sambil membayangkan Anta mengucapkan "Oo.." itu setelah melakukan
perbuatan anomali yang tak normal.
Karena sudah lengkap ku ceritakan kedua
temanku yang tersisa, maka kali ini akan ku bicarakan posisi tiap pemain.
Mungkin karena kemampuan mereka termasuk biasa saja diantara kami, maka Anta
dan Rio selalu bergantian mengambil posisi belakang, walaupun biasanya Anta
yang lebih sering bermain. Anta yang merupakan penggemar The Reds Devil, sering
kali mengingatkanku pada Phil Jones ketika ia bermain. Karena wajahnya agak
berekspresi aneh ketika bermain, persis seperti Phil Jones. Sedangkan Rio
adalah penggemar Chelsea.
Cahyo, arek lapangan asli, gesit dan
memiliki skill individu paling bagus diantara kami biasanya di sisi kiri.
Sering kali maju mundur membantu penyerangan dan membantu Anta dalam bertahan.
Itu tak masalah bagi Cahyo yang berstamina bagus. Sering kali saat menyerang
dari sisi kiri lalu ia memotong ke tengah, melewati 1-2 pemain dan melepaskan
tendangan kaki kanan. Tipikal seorang inverted winger. Namun, alih-alih seperti
Cristiano Ronaldo yang berposisi sama dan mengandalkan kekuatan dan kecepatan,
Cahyo bermain lebih seperti Messi yang mengandalkan kegesitan dan skill
individu yang menawan. Dan memang pada kenyataannya dia adalah penggemar
Blaugrana.
Ivan biasanya di tengah, lalu
"melipir" ke kanan. Sama seperti Cahyo, Ivan juga penggemar
Blaugrana. Namun, cara bermain Ivan lebih seperti Xavi yang mengandalkan operan
pendek antar pemain. Sering kali ia sedikit bergaya dengan cara mengoper dengan
tumit. Dan tak jarang pula ia membawa keanehan yang ada padanya dalam
permainan.
Contohnya saja saat ia menutup pergerakan
lawan. Dia berlari kencang menuju lawan yang membawa bola lalu berhenti di
depannya tiba-tiba dan berteriak,
"Whoi! Whoi!"
Sangat keras sekali. Dan sangat tidak
penting sekali. Niatnya sih bagus, mengagetkan lawan dan membuat panik, lalu
dapat merebut bola dengan mudah. Tapi alih-alih lawan kaget dan panik, si lawan
masih bisa saja melewati Ivan dengan mudah. Atau jika tidak, ia berlari sambil
menghujam kakinya ke lapangan membuat kegaduhan seperti kaki gajah yang
menggetarkan tanah.
Aku heran waktu ia melakukan itu. Pertama,
apa yang sedang ia lakukan? Apakah Ivan mau merusak lapangan atau mau
"menyikat" kaki lawan? Kedua, apakah kakinya tidak sakit melakukan
itu? Atau jangan-jangan kakinya telah diberi gen kaki gajah? Aku tidak pernah
tahu, tapi yang jelas Ivan hanya sekali-dua kali saja melakukan gerakan kaki
gajah itu.
Ada lagi tingkahnya yang aneh saat bermain.
Tak jarang pula saat menggocek bola ia berteriak-teriak,
"Eit, cia, ciaa."
Ini main bola apa pencak silat coba?
Sudahlah, biarlah Ivan seperti itu. Walaupun setahuku tak pernah Xavi saat
bermain teriak-teriak,
"Whoi! Cia, eit, cia, ciaa."
Mungkin aku berlebihan membandingkannya
dengan Xavi. Namun, biarlah seperti itu.
Di depan, ujung tombak, ada Made yang
merupakan seorang Madridista. Dengan posturnya yang tinggi besar, maka tak
sulit baginya menjadi target man tim kami. Tak jarang pula Made mencetak gol-gol
yang tidak masuk akal layaknya Ibrahimovic. Pernah kuingat Made mencetak gol
dengan punggungnya, sesuatu yang luar biasa bukan?
Yang terakhir tentu saja aku. Karena
kemampuanku tak lebih baik dari Cahyo, ataupun tidak sebagus gocekan bolanya
Ivan, juga tak segarang Made di depan gawang, dan juga hanya satu slot tersisa,
maka jadilah aku sebagai....kiper.
Aku cukup menghindari
posisi ini sebenarnya. Mengapa? Jelas sekali, kiper jarang sekali dapat bola.
Sekali dapat bola itupun paling-paling karena tendangan dari lawan. Belum lagi
jika tendangannya itu keras. Bisa sakit kan tangan ataupun badan ini jika kena
bolanya. Belum lagi jika tendangan yang keras itu kena muka. Bisa bonyok kan
nih muka. Memang aku ndak ganteng amat, tapi setidaknya aku juga ndak ingin tambah
jelek.
Dan yah, seharusnya aku bisa bermain, aku bisa bermain paling tidak di
posisi belakang menggantikan posisi Anta. Namun, lagi-lagi, demi menjaga
keseimbangan tim, maka keamanan gawang sepertinya lebih cocok jika aku yang
menjadi kiper dari pada Anta ataupun Rio yang menjadi kiper. Maka inilah aku,
seorang kiper.
Maka, Kawan-ku, dari semua penjabaran itu,
inilah biasanya cara kami bermain. Variasi serangan pertama kami adalah aku
melempar bola pendek saja ke Cahyo yang berada di belakang. Lalu ia bawa ke
sisi kiri, setelah itu dia memotong ke tengah. Saat di tengah, Cahyo bisa
menendang sendiri atau mengoper ke Ivan yang di tengah. Jika dioper ke Ivan,
biasanya Made berada di sisi agak kanan. Menunggu antara Ivan menendang
langsung atau mengoper kepadanya untuk diselesaikan. Sedangkan Anta di
belakang.
Variasi kedua adalah aku mengoper sedikit
ke tengah langsung pada Ivan. Ivan antara mengopernya ke Cahyo atau melipir ke
sisi kanan lapangan. Jika dia memilih untuk menyisir sisi lapangan, maka bentuk
akhirnya adalah berupa crossing yang telah siap ditunggu Made, atau umpan tarik
yang di mana Cahyo bergerak ke tengah. Sedangkan Anta masih di belakang.
Variasi ketiga adalah aku langsung melempar
bola jauh ke depan yang telah di tunggu Made, atau terkadang Cahyo yang
melakukan overlap. Walaupun aku tak suka variasi ini karena terkesan brutal dan
mengandalkan untung-untungan, tapi sesekali kami pernah mencoba variasi ini dan
berbuah satu-dua gol saja selama tiga tahun. Sedangkan Anta, lagi-lagi, masih
berada di belakang.
Tentu jika aku menjadi Anta, maka aku tak
sabar untuk terus di belakang. Begitu pula Anta. Tak jarang dia meninggalkan
posnya. Dan tak jarang pula aku memanggilnya untuk kembali. Biasanya aku
berteriak seperti ini,
“Taa!! Anttaaa!!!”
Saat dia menoleh padaku aku memberikan
isyarat angka satu yang kuletakkan jauh di depan lalu menggerakkannya mendekati
dada. Memberi isyarat padanya untuk mundur. Tentu dengan raut muka serius, yah
setidaknya aku terlihat keren saat itu. Atau kalau tidak, saat kami diserang
dari sisi kanan, aku berteriak pada Cahyo,
“Yookk yokk!! Kiri yookk!”
Sambil menunjuk pemain yang berdiri bebas
di sebelah kiri pertahanan. Dengan muka serius pula aku melakukan itu. Setidaknya
itu cukup keren bagiku, cukup kerenlah seperti David de Gea, hehehe.
Kiper
sebenarnya bukanlah posisi yang asing bagiku, karena dulu waktu SD aku pernah
ikut SSB dan menjadi kiper. Tapi waktu ikut SSB itupun aku belum pernah
berlatih menjadi kiper, masih terlalu kecil. Tapi bagaimanapun juga, walau tak
asing dengan posisi kiper, aku lebih suka bermain.
Aku sangat suka bermain di tengah. Sangat
jelas bagi kalian bahwa pemain tengah favoritku adalah Frank Lampard. Tapi tak
secuilpun aku punya kemampuan tendangan geledek nan akurat seperti Lampard. Dan
aku juga sedikit berbeda dengan gaya bermain Lampard yang lebih banyak
menyerang dari second line, menunggu bola muntah lalu menyambarnya. Walau tak
sedikit dari pergerakan Lampard yang aku tiru saat bermain, aku lebih suka di
tengah menunggu serangan lawan, memotong umpan lawan, lalu mengalirkannya
membangun serangan ke depan. Seperti Andrea Pirlo yang berposisi deep-lying
playmaker. Aku sendiri juga sedikit kurang paham mengapa aku cukup sering dapat
menebak aliran bola lawan.
Namun aku juga tidak sepenuhnya seperti
Pirlo yang bermain sangat dalam sebagai seorang gelandang, karena aku senang
berlari. Mengejar bola dari satu sisi lapangan ke sisi lapangan yang lain. Dan
aku menyadari bahwa aku cukup cepat. Oleh karena itu, tak jarang bola yang ku
dapat aku giring ke sisi lapangan. Beradu sprint dengan lawan menyusuri sisi
lapangan. Karena aku lebih nyaman berada di sisi kanan dan sering pula ku bawa
bola ke sisi kanan, maka aku adalah tipikal conservative winger seperti David
Beckham. Mencetak gol bukanlah visi utama ku dari sisi kanan, melainkan
mengoperkannya ke tengah dan membiarkan striker yang menyelesaikan.
Tapi dari pada kesemua itu, aku lebih
nyaman lagi jika mendapat bola di tengah lalu menggiringnya sedikit ke depan,
lalu aku memutuskan mengoper ke sayap atau langsung umpan terobosan ke depan.
Maka sejatinya aku juga senang sebagai playmaker layaknya Mesut Oezil,
memberikan banyak assist, walaupun umpan ku tidak se-magic Oezil.
Jadi intinya, aku senang berada di tengah.
Aku suka mencetak gol, namun aku lebih suka memberikan assist atau key pass,
bagiku gol hanyalah bonus. Di mana pun itu, asal di tengah aku suka. Oleh
karena itu sepertinya aku lebih nyaman disebut sebagai box-to-box midfielder.
Kurang lebih seperti Michael Carrick, hanya saja lebih senang sedikit
menyerang, haha.
Tapi, Kawan, ada satu hal yang harus kau
pahami. Aku tak sehebat pemain-pemain yang telah ku sebutkan. Tidak Frank
Lampard, tidak Andre Pirlo, tidak David Beckham, tidak Mesut Oezil, ataupun
Michael Carrick. Itu hanya perumpamaan saja agar memudahkan kalian memahami
istilah-istilah yang ku sebutkan dan
juga memudahkan penggambaran caraku bermain. Buktinya,
aku hanyalah seorang kiper, Kawan. Haha. Dan aku juga tidak lebih hebat dari
pada teman-temanku yang telah ku sebutkan. Biarlah, biarlah seperti itu.
******
Hal yang paling mendasar untuk menjadi
kiper adalah percaya diri. Hal mendasar berikutnya adalah ketenangan. Oleh karena
itulah mengapa aku membiarkan ini semua. Kuncinya pada ketenangan. Menurutku, orang yang keren
hebat luar biasa tak kepalang tanggung adalah orang yang tenang dan mampu
menyimpan emosinya. Berulang-ulang aku belajar akan pengendalian emosi ini, dan
berkali-kali pula aku gagal. Sedangkan kiper, dituntut untuk memiliki
ketenangan itu. Oleh karena itu menjadi kiper juga merupakan sebuah pelatihan
tersendiri bagiku. Walaupun tetap saja, aku ingin bermain.
Kiper favorit pertama ku adalah Oliver
Khan. Seorang legenda hidup, mantan kiper utama Die Mannschaft dan Bayern
Munchen yang berwajah sangar seperi Gattuso. Khan tampil menawan pada sepanjang
karirnya hingga pensiun, walaupun pada final piala dunia 2002 Khan tampil
anti-klimaks saat melawan Brazil. Namun saat aku menjadi kiper, Khan bukanlah
salah satu panutanku walaupun aku masih menaruh respek padanya. Itu karena Khan
tak jarang mengumbar emosinya saat bermain. Khan tercoret.
Berikutnya tentu ada Gianluigi Buffon.
Walaupun termasuk kiper yang tenang, entah mengapa aku tak memfavoritkannya. Tanggapanku
akan adanya Buffon adalah,
“Oh Buffon, iya keren-keren.”
Hanya sebatas itu. Tak lebih. Entah
mengapa.
Ada pula Iker Casillas. Dia juga merupakan
kiper yang tenang dan jarang mengumbar emosi. Namun postur tubuhnya yang tak
terlalu ideal untuk seorang penjaga gawang adalah salah satu alasan utamaku
untuk tidak memfavoritkannya.
Beda cerita dengan Petr Cech. Kiper yang
tenang, jarang mengumbar emosi, postur tinggi, dan memakai helm rugby! Petr
Cech merupakan salah satu kiper panutanku saat aku menjadi kiper. Mungkin itu
dikarenakan faktor Chelsea yang merupakan klub Petr Cech sehingga ia menjadi
favoritku, hehe. Tapi bagaimanapun juga, tak ada yang menyangkal bahwa Petr
Cech salah satu kiper terbaik dunia.
Untuk di masa yang akan datang, aku melihat
ada beberapa nama yang sangat menjajikan dan juga memiliki pengendalian emosi
yang luar biasa di lapangan. Manuel Neuer, David de Gea, dan Thibaut Courtois. Manuel
Neuer merupakan yang paling matang dari pada kedua nama terkahir, namun kedua
nama terkahir lebih muda dan tidak bisa dianggap sepele. Walaupun terkadang
masih terlihat akan emosi mereka berdua, itu bukan merupakan faktor
pengendalian yang kurang, namun lebih ke arah faktor usia yang masih muda. Semakin
bertambahnya umur, tentu akan semakin keren pengendalian emosi mereka. Maaf saja Joe
Hart tidak termasuk, karena menurutku ia sedikit emosional.
Menilik jauh kebelakang, ada seorang kiper
yang disebut sebagai bapak kiper modern masa kini. Ialah Lev Yashin. Kiper tim
nasional Uni Soviet yang berjuluk The Black Spider. Merupakan satu-satunya kiper
yang pernah meraih penghargaan Baloon d’Or. Jika saja lebih banyak video
tentang penampilannya di lapangan dan tidak berupa film hitam-putih, mungkin
aku akan menempatkannya sebagai kiper favoritku hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar