Surabaya. Kota pelabuhan. Kota pahlawan. Jika
temanku bilang Surabaya itu panas, ya aku benarkan. Atau Surabaya itu macet, ya
aku benarkan. Atau Surabaya itu Dolly, ya aku benarkan. Walau sebenarnya aku
salut dengan usaha pemerintah yang ingin menghapus image itu.
Namun, dari semua pernyataan dan pertanyaan
teman-temanku tentang Surabaya, pertanyaan yang paling membuat aku kesal
adalah,
"Kapan Surabaya hujan?"
Sangat menjengkelkan. Ini pertanyaan yang sangat
tidak rasional untuk dilontarkan. Pertama, aku bukanlah pawang hujan atau dukun
hujan. Kedua, aku bukan BMKG yang bisa tahu data-data kapan akan terjadi hujan.
Ketiga, aku bukan scientist gila yang suka merubah awan menjadi hujan makanan.
Tapi untungnya Surabaya akhir-akhir ini sering hujan, dan seketika itu juga
pertanyaan itu hilang ditelan bumi.
Dan menjadi "duta" juga bukan perkara
mudah. Paling tidak, minimal, harus memberikan kesan orang Surabaya itu baik.
Hahaha, padahal...
Oke, karena harus memberikan kesan baik itulah,
terjadi salah satu perbincangan paling tidak penting di dunia antara aku ketika
bertemu dengan salah satu temanku yang kebetulan seorang cewek. Aku,
"Pulang ke kos? Naek apa?"
"Iya. Jalan kaki."
"Lho, motormu mana? Biasanya naek motor
kan?"
"Iya ini motorku rusak tadi. Sulit di stater,
ndak nyala."
"Oalah...nebeng ta?"
"Ndak jalan aja."
"Bener ta? Lumayan lho ndak capek."
"Iya bener."
"AlhamdulillaaaaAAHHHH!"
Alhamdullilah! Ya, aku jawab Alhamdulillah dengan
nada yang meninggi dibagian akhir kata. Nah lho? Paham maksudku kan? Jadi,
intinya aku senang temenku ndak nebeng. Dan rasa senangku itu aku ekspresikan
dengan kata alhamdulillah itu tadi.
Dari awal memang pada waktu itu, aku lagi tidak
berniat nebengin. Coba bayangin, kan harus muter-muter dikit dulu. Terus bensin
gimana. Belum lagi nanti kalo dikira modus. Nah, bahaya kan? Justru
alhamdulillah to kalo temenku itu ndak mau? Ndak harus repot, ndak harus dikira
modus.
Sebenarnya, karena waktu itu aku harus buru-buru
pulang, makanya waktu itu aku ndak niat nebengin. Tapi trus kenapa aku kok
nawarin? Itu tidak lebih dari sekedar basa-basi. Kan kok sawangane ndak
nawarin, kan ndak enak kan ya.
Dan nawarin tebengan ini juga tidak lepas dari peran
"duta" sialan yang aku sandang. Karena "duta", maka paling
tidak, sepeti yang aku katakan sebelumnya, harus keliatan baik. Nah, nawarin
tebengan itu tadi setidaknya sudah mencerminkan "keliatan baik".
Paling tidak, aku sudah mencerminkan warga Surabaya
yang "keliatan baik"
*****
"Eh, kamu punya nomornya si Aap?"
"Iya ada."
"Eh kirimin ke nomorku dong."
"Kenapa ndak kamu catet langsung aja?"
"Mati nih hapeku, kalo kamu kirim kan nanti
masuk."
"Oh, oke. Nomormu berapa?"
"08xxxxxxxxxx."
Duh, ada lagi ya modus baru kayak gini. Luar biasa..
ancooollll
BalasHapus