Tidak
bisa dipungkiri aku memiliki ketertarikan pada dunia tulis-menulis dan
baca-membaca. Dan oleh karena itu pula aku sempat beberapa kali membuat banyak
cerita. Banyak pula cerita-cerita ku ini diambil dari pengalaman pribadi, namun
juga tidak sedikit yang hanya hasil pemikiran dan imajinasi.
Dari beberapa cerita itu, aku ingin
memposting di blog ku ini salah satunya. Ini cerita berjudul Bahasa Daerah. Waktu
itu cerita ini aku buat waktu SMP dan merupakan pengalaman pribadi ku saat SMP.
Tidak ada secuil pun bagian dari cerita dibawah ini yang aku edit lagi. Jadi
cerita di bawah ini nanti adalah benar-benar asli saat dulu aku menulisnya.
Oke, tunggu apalagi, silahkan, Kawan :
)
Bahasa
Daerah
Pengalaman bisa membuat seseorang terpuruk, sepi, dan tenggelam di
dalamnya. Tapi pengalaman juga bisa membuat seseorang senang, bahagia, bahkan
melambung di dalamnya. Tapi ada juga pengalaman yang tidak mempengaruhi kinerja
seseorang. Contohnya saja pengalamanku.
Ketika aku kecil, sekitar umur 4 tahun dimana pada usia itu
adalah usia yang paling menyenangkan bagi semua orang. Soalnya kalau kita
nangis pasti masih diperhatiin. Orang akan bilang, “Nak, kasihan…..kenapa
kamu?” Tapi kalau sudah besar pasti
orang bilang, “Nak, kamu gak pernah diperhatiin ma ortu-mu ya?”
Kembali
ketika aku kecil, saat itu aku baru bangun tidur dan kulihat jam dimana
seharusnya ibuku belum berangkat bekerja. Aku mencari di dalam rumah dan tidak
kutemukan ibuku. Lalu aku berlari ke luar rumah dan kutemukan ibuku berjalan
menjauh untuk berangkat bekerja. Aku langsung berlari mengejar ibuku sambil
berteriak-teriak memanggil ibuku. Namun ibuku tak mendengar suaraku. Tiba-tiba
saja, saat diriku berlari, aku miring-miring ke kiri dan seperti yang aku
perkirakan…. aku masuk selokan. “BLUNG!” begitulah bunyinya…..dan aku berkata,
“Bagus….” Dan aku kembali ke rumah. Tapi anehnya aku tidak menangis. Nah,
itulah mengapa pengalamanku itu tidak memengaruhi kinerja diriku. Atau mungkin
pengalamanku itu telah membuat sesuatu dalam diriku salah/error. Buktinya aku
tidak menangis.
Dari
pengalaman itu, aku dapat menyimpulkan bahwa pelajaran yang paling berharga
adalah pengalaman. Dan pelajaran dari pengalaman itu adalah, “Sebaiknya jika
kalian berlari, lalu tiba-tiba miring-miring, sebaiknya anda berhenti. Jika
tidak, dapat menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.”
Bertahun-tahun
setelah kejadian itu, aku mulai mengikuti program pemerintah yang bernama
“Wajib Belajar 9 Tahun”. Atau jika aku permudah istilahnya, aku mulai masuk
sekolah. Nah, setiap sekolah pasti mempunyai mata pelajaran yang pasti menurut
sekolah akan berguna bagi masa depan murid-muridnya. Dan selama aku mengikuti
program pemerintah itu, dan dimasukkan berbagai macam mata pelajaran, aku mulai
menyadari sesuatu jika dihubungkan dengan pengalamanku bertahun-tahun yang lalu.
Aku menyadari bahwa,
“Jika
pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga, maka Bahasa Daerah adalah
pelajaran yang paling menyebalkan.”
Ini
benar-benar membuatku dilema sebernanya. Bagaimana tidak, Ayahku adalah seorang
Jawa tulen. Maka seharusnya, kemampuan bahasa Jawa atau daerahku tidak sebatas
“asal tidak remidi”. Tapi itulah mentalitasku saat diriku berjumpa dengan
pelajaran bahasa daerah. Tapi mau gimana lagi? Toh kalau aku bisa, mungkin
mentoknya cuma “inggih”, “mboten”, “mboten napa-napa”, atau “kula mboten
ngertos”. Oke, aku akui, banyak kata “mboten” di dalamnya. Tapi sekali lagi,
mau gimana lagi?
Nah, dalam
karirku sepanjang mengikuti program pemerintah “Wajib Belajar 9 Tahun” ini, aku
selalu mencari jalan agar “asal tidak remidi” untuk pelajaran bahasa daerah.
Nah, pengalaman yang paling menurutku lucu adalah ketika aku kelas 9 di mana
saat itu ulangan pelajaran bahasa daerah. Untungnya, saat itu adalah ulangan
harian. Jadi selain duduknya sebangku 2 orang, soalnya cuma 5, aku kedapatan
tempat di belakang! Tapi ruginya, soal sebangku hampir sama tapi beda, dan
ulangan harian itu semuanya uraian!
Ketika soal
dituliskan di papan tulis, bukan di Balikpapan (soalnya kejauhan dari
sekolahku) aku masih tenang. Soal pertama, ada a dan b. Yang a, aku bilang,
“Gini doang?” ketika yang b, aku bilang, “Oi, nomer 1 b apa?” sambil
celingak-celinguk kiri-kanan. Tapi yang namanya juga usaha, pasti dapat hasil.
Tak penting hasilnya baik atau buruk yang penting….. “asal tidak remidi”
Ketika soal nomer 2, aku bilang, “Bagus…” deja
vu kata-kata ketika aku masuk selokan. Lalu aku celingak-celinguk kiri-kanan
dan tidak satupun temanku yang tahu jawabannya. Lalu tanganku tanpa sengaja
menyentuh buku paket bahasa daerah yang ada di mejaku. Aku teringat, aku sempat
membacanya sebelum ulangan yang kejam ini menimpa diriku. Aku juga teringat,
aku lupa memasukkan buku yang mengahadirkan harapan padaku itu ketika ulangan
ini berlangsung. Dan aku juga masih sangat ingat, aku tersenyum saat menyadari itu.
Aku langsung
membuka buku itu di atas meja! Bukan dewi yang katanya orang Yunani tersenyum
memberikan keberuntungan yang tersenyum padaku, tapi Tuhan yang tersenyum
padaku. Sehingga saat pertama kali aku buka buku pemberi harapan itu, aku
langsung menemukan halaman yang ada jawaban untuk nomer 2 ulangan harian sialan
itu! Dan aku langsung salin saja jawabannnya. Lalu kututup buku itu dengan
tenang dan kumasaukkan buku itu ke tasku dengan tampang innocent.
Waktu itu mukaku
seperti konglomerat yang menaburkan uang koin ke rakyat yang serba kekurangan.
Dan aku langsung dengan muka bangga memberi tahu jawaban soal nomer 2 yang
teman-temanku tanyakan. Oh, inikah perbedaan orang yang tahu dan tidak tahu?
Pantas banyak orang ingin mendapatkan keingintahuan walaupu dengan segala cara.
Dan apakah
kalian ingin tahu berapa nilai yang aku dapatkan dengan perbuatan diriku? 89!
Seumur-umur diriku tak pernah mendapatkan nilai yang begitu tinggi untuk mata
pelajaran bahasa daerah ini. Tapi jika dipikir-pikir lagi, seharusnya aku tidak
melakukan perbuatan itu. Tapi tak apalah, toh nilainya juga 89! Hahahaha…
Diambil
dari kisah nyata penulis
By Limpat S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar