Kawan, akan ku mulai ceritaku ini dari awal sekali. Di
sekolahku, kita akan mempunyai teman sekelas yang sama selama tiga tahun.
Berbeda ceritanya jika waktu kelas XI ada yang masuk kelas IPS, karena yang bersangkutan harus pindah kelas. Namun uniknya kelasku, tidak satupun dari anggota kelas kami yang
memasuki kelas IPS.
Jadinya
terperangkaplah kami berdua puluh sembilan orang anak yang sama dalam satu
kelas selama tiga tahun. Cukup bagus, karena selama kurang lebih tiga tahun itu
kami bisa
saling mengenal luar dalam. Ehm, mungkin kata “dalam” di sini artinya sifat ya.
Oke pokoknya artinya seperti itu. Bukan arti yang macam-macam.
Tidak ada angin tidak ada hujan, ketika kami
kelas XII, tiba-tiba munculah sebuah ide untuk membentuk sebuah band kelas. Ide
ini sungguh sangat relevan, mengingat di kelas ku tak kurang dari enam anak
yang bisa bermain gitar, bahkan ada
lima anak juga yang ikut paduan suara sekolah.
Mengingat track
record paduan suara sekolah kami yang telah go international, maka teman-temanku
ini bukanlah orang sembarangan. Ide ini semakin menjadi nyata karena selama
tiga tahun itu kami tak pernah mempunyai band kelas walau dengan stock bakat musik yang melimpah ruah.
Hingga akhirnya Rio temanku yang luar biasa
ini bersama Ivan, mengajakku bergabung. Target band kelas ini adalah tampil di
MPDK, acara perpisahan sekolah
kami. Aku tahu ini semacam proyek ambisius, karena tampil
di MPDK adalah sesuatu yang istimewa dan tak mungkin band kelas kami tampil
seadanya. Dan tentunya proyek ambisius ini ingin meninggalkan kesan dengan gaya
ketika tampil di MPDK. Dan aku sangat senang dengan proyek yang ambisius. Aku
sambar dan akhirnya bergabung.
Ada alasan-alasan tersendiri bagiku mengapa
langsung menyambar kesempatan ini. Dengan kemampuan setengah-setengah seperti
ku, mengikuti sebuah proyek yang ambisius merupakan tantangan tersendiri.
Karena dengan begitu setidaknya aku dituntut berkembang dan mampu mengikuti
atau minimal mengimbangi mereka sehingga proyek ini terlaksana. Oleh karena itu,
aku harus memberikan 110% kemampuan agar semua itu tercapai.
Alasan kedua, mengikuti sebuah proyek ambisius
berarti mengikuti sebuah proyek
yang terus hidup karena ada hembusan motivasi dari anggota
di dalamnya untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Sebenarnya kami juga mengajak Cahyo (bukan
nama sebenarnya, nama sebenarnya Dwi Cahya S). Bukan tanpa alasan kami mengajak
Cahyo, karena Cahyo adalah drummer terbaik kelas kami. Namun sayang sekali,
kawanku yang flamboyant ini sudah
bergabung dengan band lain, dan ada peraturan di MPDK bahwa ada larangan bagi
siswa tidak boleh bermain lebih dari satu band. Di satu sisi peraturan ini
benar karena bisa memberikan kesempatan bagi yang lain. Namun, di satu sisi ini
adalah peraturan yang konyol. Haha, pendapat konyol itu mungkin karena aku
merasa dirugikan. Akhirnya (baca : sialnya), aku mengisi posisi Cahyo.
******
Setelah ide band kelas ini berhembus kencang
di kelas dan menjadi top trending topic kelas kami, haha, endak
ya. Intinya setelah ide ini mencuat, beberapa anggota proyek ambisius ini telah
direkrut, dan setelah mengerjakan UNAS, kami bertiga, Rio, Ivan, dan aku
latihan untuk pertama kalinya.
Kami menyewa studio musik di daerah
Dharmahusada, cukup dekat dengan pusat Surabaya. Studio ini semacam studio
langganannya Rio, karena dengan kemampuannya yang hebat dalam memetik gitar,
maka sudah sering baginya berganti-ganti band tergantung penawaran yang ada,
dan ke studio ini mungkin baginya sama seperti frekuensinya pergi ke jamban saat bersama band-bandnya yang dulu. Sedangkan aku baru pertama kalinya ke studio ini, sama seperti frekuensiku melaksanakan khitan, hanya satu
kali.
Awalnya aku berpikir bahwa ini adalah band
yang keren. Lihatlah kami, terdiri dari tiga orang saja. Ini seperti band-band
keren mancanegara lain seperti Nirvana, Muse, Sum 41 atau minimal seperti Blink-182,
hehe. Lihatlah mereka, sudah berapa kali mereka keliling dunia? Berapa kali
mereka mendapat piala penghargaan? Tak terhitung! Bahkan mungkin, frekuensi
keliling dunia dan mendapat penghargaan mereka itu lebih banyak daripada
frekuensi total anggota band mereka pergi ke jamban.
Namun, terkadang kenyataan tak semudah dan tak
seindah mimpi. Alih-alih seperti Nirvana yang menginspirasi band terkenal lain,
atau seperti Blink-182 dengan keberhasilan mereka mengenalkan musik punk ke kancah dunia, kami malah seperti
Trio Kwek Kwek.
Tak berlebihan aku berkata seperti itu. Tapi
sebenarnya,
Kawan, akulah penyebab utama yang membuat band kelas yang awalnya keren seperti
Sum 41 ini menjadi band kelas macam Trio Kwek Kwek.
Sering sekali dan tak terhitung kesalahanku
dalam memainkan tempo ataupun beat drum. Tak berlebihan ku katakan waktu itu
tempo drum ku berlari deras menuju selatan dan beat drum ku menari patah-patah menuju utara. Sangat tidak
selaras.
Beberapa kali dicoba masih tetap sama. Mungkin
ada sedikit perubahan di akhir sesi latihan, dari Indonesia tempo ku merangkak menuju selatan
lalu berbelok menuju Australia sedangkan beat ku yang awalnya menuju utara,
sekarang mulai berbelok ke Rusia. Namun Kawan, jika kau lihat peta dunia,
sebenarnya itu sama saja dengan tidak ada perubahan dengan sebelumnya.
Sebenarnya kami tidak bertiga. Kami
mengajak Made, temanku yang ditakdirkan berdarah campuran Bali ini juga dibujuk
untuk ikut bergabung. Tapi waktu itu masih ku ingat, dia tidak datang karena
alasan, “Males, panas’e van.” Begitu katanya pada Ivan. Well, tidak salah, memang panas waktu itu karena
kami booking studio dari jam 12
hingga pukul 2 siang.
Lalu kami juga mengajak Dinsa, teman kelas
kami yang ber-gender cewek dan
menjadi bagian dari paduan suara sekolah kami. Kami sebenarnya waktu itu
ingin mengkultusnya menjadi vokalis, tapi waktu itu Dinsa tak bisa datang. Tak
tahu kami alasannya mengapa ia tak datang. Selidik punya selidik, jika
ingatanku tidak salah, ternyata dia harus mengejar kereta ke Malang pada waktu
itu.
Well, mengejar kereta juga bukan perkara
mudah. Usain Bolt saja, yang katanya manusia tercepat, bisa kalah sama kereta!
Gimana ceritanya Dinsa bisa ngejar kereta coba? Oke, mulai absurd. Fokus.
Fokus. Sebenarnya aku ingin membuat cerita yang berkelas, Kawan. Tidak terlalu
banyak selengekan seperti cerita-cerita lain. Ini aku curhat, Kawan. Cukup berat
membuat cerita berkelas. Absurd. Fokus. Fokus. Oke, mari kita lanjutkan cerita
kita. Karena mereka berdua tidak datang, Trio Kwek Kwek pun menggila.
Kami waktu itu menghubungi mereka berdua terus-menerus.
Bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul 13.30, kami masih tetap menghubungi
mereka. Padahal kalian tahu, Kawan, jika jam setengah dua itu berarti sudah mepet sekali dengan berakhirnya jatah booking-an studio kami. Namun, kami
bertiga memiliki alasan yang kuat untuk terus menghubungi mereka. Oke,
sebenarnya ini alasannya Rio, tapi aku juga mengamini alasannya. Bahkan aku
adalah orang nomor satu yang membela alasannya Rio mati-matian.
Alasannya mudah ditebak namun sangat kuat dan
tidak bisa digoyahkan dari seluruh penjuru mata angin, yaitu jika kami berhasil
mengajak salah satu dari Made atau Dinsa, maka biaya urunan untuk menyewa
studio tidakklah terlalu mahal.
Ini sangat penting. Sungguh. Biaya sewa studio
musik per shift-nya (dua jam) sebesar
empat puluh lima ribu rupiah. Itu berarti jika dibagi tiga, maka setiap orang dari kami
harus merogoh kocek sebesar lima belas ribu rupiah. Bayangkan Kawan, Rp 15.000!
Dan itu tidak mudah bagi kantong atau dompet
pelajar, yang kalian tahu, jika sekali kantong atau dompet itu dibuka, entah mengapa
isinya bisa menguap dalam hitungan detik! Apalagi bagiku, lima belas ribu
rupiah bisa berarti sama dengan makan pangsit dua setengah porsi (dengan asumsi
harga pangsit enam ribu rupiah per porsi). Dan dua setenga porsi pangsit bisa
sangat berpengaruh pada berat timbangan badanku yang perlu santunan lemak ini.
Namun pada akhirnya, kami, Trio Kwek Kwek yang
mempunyai mimpi setinggi Nirvana, harus menelan pil pahit. Made dan Dinsa tak
datang, lima belas ribu ku melayang, dan pangsit pun tak pernah datang.
******
Setelah tragedi Trio Kwek Kwek di medio bulan
Mei, kami vakum kurang lebih
seminggu. Tidak ada kabar. Mungkin karena kami trauma akan beat drum yang nyasar sampai daratan Eropa yang dingin
di Rusia sana. Aku pun juga trauma.
Namun, entah dari mana
munculah ide bahwa kita akan bermain akustik. Ide ini tidak buruk, justru
keren, karena saat MPDK hampir keseluruhan siswa yang bermain adalah band.
Namun akustik? ini sebuah gagasan yang luar biasa.
Bayangkan sebuah malam
perpisahan di malam hari nan syahdu dengan setting
di dalam sebuh hall yang luas dan
megah, dinding-dinding hall dihias
elegan dan cat warna-warni, lalu diiringi musik yang mengalun lembut dari
petikan gitar akustik. Awesome! It will
be so fabulous!
Lihatlah ini Kawan,
kekuatan dari sebuah proyek ambisius. Ketika sebuah tragedi mengerikan terjadi,
maka lihatlah hasilnya, ide gila luar biasa yang mengalahkan ide sebelumnya!
Well, sebenarnya aku ingin mencoba lagi posisi drum. Sekali lagi saja. Jika
memang tak memuaskan, berarti kita akan tampil akustik. Namun entah mengapa aku
urungkan niatku. Hingga akhirnya Ivan setuju tampil akustik. Aku pun setuju.
Kawan, aku tak banyak bicara soal pendapatku di awal mula terbentuknya band
ini, begitupun hingga formasi lengkap sekarang ini karena untuk dapat bergabung
dalam proyek ambisius ini saja, aku sudah sangat bersukur.
Dan segera saja ide
gila luar biasa ini segera kami wujudkan. Kami merekrut lagi beberapa teman
kelas kami. Kami bisikkan mereka mimpi kami tentang penampilan akustik yang
elegan nan penuh gaya dihadapan seluruh siswa sekolah kami plus guru-guru kami di MPDK. Kami janjikan mereka penampilan yang
tak kan terlupakan di malam perpisahan ini.
Mereka tertarik, dan
akhirnya Made dan Dinsa bergabung….ehm, well
mereka sebenarnya memang sudah diajak sebelumnya dan bukan orang baru. Dan
sebenarnya mereka juga setuju untuk ikut band kelas ini waktu tragedi Trio Kwek
Kwek terjadi, hanya saja mereka tidak bisa datang waktu itu. Namun apalah
artinya semua itu, intinya jadilah kami berlima.
Latihan pertama band
akustik kami di rumah Rio. Waktu itu kami masih melihat-lihat beberapa pilihan
lagu yang telah disiapkan oleh panitia MPDK. Kami melihat peluang bahwa
pemilihan lagu lebih baik diserahkan kepada vokalisnya saja, karena jika
vokalisnya sreg dan enjoy dengan lagu pilihannya, maka
menyanyinya pun jadi enak. Dan kehormatan memilih lagu pun diserahkan ke Dinsa.
Lagunya ada Clock by Coldplay, TikTok by Ke$ha,
Count On Me by Bruno Mars, Time Is Running Out by Muse, SebuahKisahKlasik by Sheila On 7, dan ArtiSahabat by Nidji. Entah mengapa
Dinsa memilih TikTok. Kami pun setuju.
Setelah cukup lama
kami berlatih di hari pertama ini, munculah ide lagi untuk menambah vokalis.
Pertimbangannya agar suara vocal lebih ramai dan penguasaan panggung lebih
menggigit. Kami semua menyetujui gagasan ini. Ah, Kawan, lihatlah ini kekuatan
dari sebuah proyek ambisius, ide tak akan pernah habis!
Dan segera setelah disetujuinya
ide ini, kami mengontak Cana, teman kelas kami yang juga mengikuti paduan suara
sekolah. Sungguh luar biasa, dia menerima tanpa syarat dan terbentuklah formasi
lengkap band kelas kami. Ivan dan Rio pada gitar, Made pada gitar dan perkusi,
Dinsa dan Cana pada vocal.
Lihatlah teman-temanku
yang luar biasa ini, Kawan. Ivandito Herdayanditya, yang biasa dipanggil Ivan,
temanku yang luar biasa ini mempunyai kulit yang sedikit gelap. Bentuk wajahnya
seperti acorn atau kacak oak, sedikit
berbentuk kotak di bagian kepala lalu turun mengerucut hingga ke dagu. Bibir
bagian bawahnya tebal dan mempunyai alis yang tipis.
Sejenak aku terkejut
ketika bertemu dengan orang tua maupun adiknya, karena dia sungguh berbeda. Dan
aku berpikir betapa Allah Mahabesar sehingga mampu membuat keanekaragaman
genetik yang rumit dan menghasilkan individu baru yang bisa berbeda secara
fisik dengan induknya. Namun walau begitu, dia merupakan salah satu kebanggan
sekolah kami karena mampu bersaing di OSN.
Satu hal yang selalu
ku kagumi dari temanku satu ini adalah pemikirannya. Tak jarang ketika aku, atau
temanku menghadapi masalah, lalu komentar sana-sini, menyalahkan ini-itu, dan
mengeluh sesuka hati, dia akan memberikan tanggapan yang berbeda. Dan dengan
kata-kata ajaib dari mulutnya kita bisa menyadari bahwa pemikiran kita terlalu
sempit sehingga berkomentar-komentar miring seperti itu. Mungkin bagi sebagian
orang itu menyebalkan, namun bagiku itu adalah anugrah pemikiran yang tidak
semua orang bisa mendapatkannya. Terkadang aku malu pada diriku sendiri.
Tak sampai di situ,
kekaguman utama ku pada Ivan adalah cara dia memetik gitar. Saat pertama kali
aku dengar saat ia bermain gitar, suara yang dihasilkan mempunyai warna jazz-pop
dengan perpaduan keroncong yang unik. Kurang lebih seperti RAN dengan nada
miring-miring yang diperlihatkan. Sangat tak biasa, ganjil, dan mengejutkan.
Baru pertama kutemui secara langsung orang yang memiliki warna musik seperti
ini.
Ada hal yang selalu
membuatku tertawa geli jika mengingat Ivan. Tak jarang dia selalu melakukan
hal-hal yang tak perlu dan aneh, seperti orang kehilangan kewarasannya,
sehingga meledakkan tawa kelas kami. Contohnya adalah perseteruannya dengan
Made tentang…ah, aku ceritakan nanti saja, Kawan. Belum saatnya.
Gitaris kami satunya,
Rio Pradana Manggala Putra, biasa dipanggil Rio, terkadang dipanggil koko oleh
teman-teman cewek kelas kami. Tubuhnya berisi proposional, setidaknya tidak
sekering diriku. Wajahnya bulat bersih dan hobi sekali berpotongan cepak hingga
mendekati gundul. Akan sangat mirip sekali dengan biksu tong jika ia berpakaian
biksu tentu saja. Jika aku melihat fotonya waktu kecil di rumahnya, maka aku
teringat kue bolu bulat, yang lucu, sedikit pejal, dan mengenyangkan itu.
And what can I say about him? He’s the perfect
one. Jika kau pernah membaca
novel Laskar Pelangi dengan kepintaran Lintang yang luar biasa dan kehebatan
Mahar dalam bermusik, maka, Rio, temanku yang satu ini mempunyai kedua bakat
itu! Jika ku ceritakan padamu, Kawan, tentang betapa hebatnya kedua bakat akademis
dan bermusik yang ia punya, maka inilah penjabaranku.
Kawan, tak pernah
sekalipun, dia, selama tiga tahun sekelas dengan ku, rangking di bawah tiga
besar! Sekolahku yang luar biasa menggila dalam hal kompetisi akademik, yang
kalian jika teler sedikit maka akan langsung mencetat menempati urutan buncit, dan hal gila lainnya mengenai
tugas-tugas menumpuk di sekolahku, maka itu semua tidak berlaku bagi Rio, dia
tetap stabil di atas. Luar biasanya
lagi, dia juga ikut paduan suara sekolah ku yang kondang itu. Belum sampai di
situ, dia juga merupakan gitaris terbaik kelas kami. Dia pula yang frekuensi
pergi ke studio musiknya sama dengan frekuensi pergi ke jamban.
Tak sampai di situ,
guru les ku yang pernah mengenalnya saat SD pun mengatakan bahwa Rio adalah
anak yang lengkap. Kata guruku itu dia waktu SD bermain piano, dan baru tahu
kabar terbarunya lagi setelah ku ceritakan bahwa sekarang dia lebih sering
bermain gitar. Dan kau tahu Kawan apa komentar guruku setelah aku bercerita
tentangnya? “Oh, tambah lengkap ae Rio iku.” (Oh,
semakin lengkap saja Rio itu.)
Entahlah Kawan, pasti
sangat beruntung sekali orang yang akan menjadi pendamping hidupnya suatu saat
nanti. Ehm, mungkin aku berpikir terlalu jauh, mungkin yang paling relevan
untuk saat ini adalah pasti bangga sekali menjadi kedua orang tuanya.
Dinsa Celia Putri,
vokalis kami. Mudah ditebak jika panggilannya Dinsa. Wajahnya bulat manis
dengan pipi nyempluk berisi, bibirnya
kecil dengan deretan gigi rapi yang kecil-kecil lucu. Dan kenyataanya adalah
dia memang calon dokter gigi. Sangat relevan antara gigi dan profesinya nanti.
Dan itu bagus untuk membangun trust
konsumen.
Jika saja dia lebih
putih lagi, mungkin dia akan terlihat seperti orang Cina, namun dengan mata
yang terbuka lebar, tidak sipit. Secara kesuluruhan, dia teman kami yang
cantik, namun wajahnya lebih ke arah lucu menggemaskan, dan tak heran
berkali-kali dia di hubungi cowok-cowok sok kenal yang ingin mendapatkan
hatinya. Ciee…
Namun, Kawan, Dinsa
bukanlah tipe orang yang haus akan suasana romansa nan aduhai dan cerita cinta
picisan. Akan sangat lebih afdhol
sekali jika kalian menjadi sahabatnya. Itu lebih indah, Kawan. Sungguh.
Walaupun dia bukanlah tipe kepribadian yang terbuka, namun jika kau sudah
mengenalnya maka tak segan ia berbagi cerita lucu dan pengalamannya, dan sering
kali ceritanya itu dari mas-mas atau mbak-mbak saudaranya.
Satu hal yang aku
heran dari Dinsa selama tiga tahun sekelas dengannya, yaitu adalah dia punya
banyak sekali saudara mas dan banyak sekali saudara mbak. Misal ada mbaknya
yang di kedokteran gigi, terus ada lagi yang di arsitektur, belum lagi mas
saudaranya yang ini, terus yang itu, dll. Karena terlalu banyaknya, sehingga
ketika dia bercerita tentang saudaranya, aku harus berpikir dulu, yang mana
yang dimaksudkan olehnya.
Sering kali aku
mengatakan padanya untuk memberi nomor pada mbak-mas saudaranya itu. Sehingga dengan
begitu mudah diingat. Misalnnya mbak nomor satu itu berarti mbaknya yang di
kedokteran gigi, terus mbaknya yang nomor dua di sini, dst. Begitu pula dengan
saudara masnya, masnya yang nomor satu itu yang ini, masnya yang nomor dua itu
yang punya ini, dst.
Terkadang timbul
pertanyaan di otakku. Apakah jika diurutkan semua saudaranya jumlahnya sampai
dua puluh? Atau malah lebih? Atau jangan-jangan sebenarnya mbak-mas nya hanya
satu namun memiliki kepribadian ganda yang berbeda-beda? Ah, itu tak mungkin. Namun
pertanyaanku yang lain tak pernah terjawab. Karena sampai sekarang Dinsa tak
pernah mengurutkan mbak-mas saudaranya, meskipun telah berbusa-busa mulutku
mendesaknya.
Cana Antyanta Dias
adalah nama yang indah. Well,
orangnya juga tidak berbeda dengan namanya itu. Cana adalah panggilannya. Jika
boleh aku deskripsikan dan aku simpulkan dari kata teman-teman di sekitarku,
maka Cana adalah manifestasi kecantikan
yang sesungguhnya.
Wajahnya lonjong
dengan kulit yang putih. Bibirnya lebar menggoda setiap kali tersenyum, matanya
yang lebar ditemani alis yang tebal cantik. Tubuhnya tinggi langsing proposional
dan jelas lebih tinggi dari ku. Jika boleh dibilang, tak kurang ia seperti
Angelina Jolie sewaktu muda. Belum lagi kemampuannya bermain piano yang luar
biasa. Aku yakin jika Cana membaca ini, maka mungkin dia akan merasa melambung
seperti balon kelebihan helium, terus melayang menuju langit biru yang cerah,
lalu pecah karena tak mampu menahan perasaan senang.
Tapi memang, Cana
adalah primadona. Bukan hanya di kelas kami namun juga di sekolah kami. Saya
juga heran kok kebetulan kelas ku yang ketempatan orang seperti ini. Belum lagi
pribadinya yang supel. Tak heran jika kalian baru berkenalan dan kalian haus
akan nuansa romansa (baca : jomblo kurang kerjaan), kalian tak akan cukup kuat
mengalihkan pandangan mata dari wajahnya. Mungkin jika Cana masih meneruskan
membaca ini maka sekarang pecahan balon itu meleleh karena panasnya pujian yang
ia terima.
“Sudah cantik, tinggi,
bisa nyanyi. Idaman wes.” Ya itulah kata-kata yang paling tepat menggambarkan
Cana. Dan kata-kata itu dilontarkan oleh salah satu seorang juri ketika kami
audisi. Tunggu. Aku belum menceritakan tentang audisi ya? Tenang, akan
membutuhkan tempat tersendiri untuk menggambarkan audisi itu, dan masih belum
saatnya, Kawan. Karena ada satu lagi temanku yang perlu kuceritakan padamu.
Namanya Made Dwi
Andri, front-man band kami. Panggilannya
adalah Made yang dibaca dalam bahasa Inggris. Kau pasti tahu maksudku, Kawan.
Membaca Made itu seperti membaca kata made dalam kalimat I made a doughnut yesterday. Ya seperti itu,kau pasti tahu
maksudku.
Bagiku? Made adalah
bintang yang sesungguhnya. Lihatlah dia, dari semua kaum Adam yang ada dalam
band kelas ini, dia yang paling atletis dan paling ganteng. Sungguh. Badannya
yang tinggi dan kekar membuatnya jika mengenakan pakaian apapun terlihat keren.
Sehingga tak heran jika cukup banyak cewek disekitarnya.
Tidak cukup sampai
disitu. Made seperti utilities, serba
bisa. Dalam permainan football America,
maka dia seperti The Tight End (TE). Dan itu sangat penting dalam sebuah tim.
Kehebatannya, jika aku
gambarkan seperti ini. Dia calon dokter gigi dan satu fakultas dengan Dinsa,
pemain basket dan menjadi andalan sekolah kami, pebisnis yan berbakat, seorang
stand up comedi-an, dan kau tahu apalagi, Kawan? Dia seorang pebalap slalom!
Mungkin kekurangannya
hanya kulitnya yang sedikit gelap. Dan Made ini biasanya memiliki perseteruan
dengan Ivan yang lucu dan seru mengenai siapa yang lebih putih diantara mereka
berdua.
Entah dari mana dasar
mereka berdua, tapi setiap kali mereka membandingkan, maka pemenangnya bisa
berbeda-beda. Terkadang lebih putih Ivan, terkadang lebih putih Made. Dan
inilah maksudku tentang kelakuan Ivan yang tidak perlu dan mengundang tawa.
Hasil pertandingan
terakhir diantara Made dan Ivan adalah Ivan lebih putih. Namun Made berdalih
dia jadi lebih hitam karena harus menekuni slalom
lebih intens. Hingga akhirnya Ivan berceletuk,
“Eh, Made, ayoa
tanding engkok ayu-ayuan bojoe*.” (Eh,
Made, berani tanding nanti pasangannya lebih cantik siapa?)
“Ayo, kapan? Saiki
ta?” (Ayo,
kapan? Sekarang?)
“Yo gak, ngkok pas
kawin.” (Ya
tidak, nanti waktu sudah menikah)
“Walah van, tak pikir
saiki..” (Oala van, aku pikir
sekarang..)
*bojo dalam kamus anak
muda Jawa bisa berarti pacar.
Sungguh perseteruan
ini semakin menggila saja. Namun lucu luar biasa. Dan bahkan aku sampai
sekarang bertanya-tanya apakah perlombaan tentang cantik-cantikan istri ini
jadi terlaksana atau tidak.
Ada satu sifat yang
selalu ku kagumi dari Made dan belum secuil pun aku mendekati sifat itu. Dia
sangat loyal sekali pada kawan-kawannya. Jangan kau tanyakan padaku seperti apa
loyalnya, karena tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Inilah band kelas
kami. Inilah keunikan dan kehebatan masaing-masing kawan-kawanku. Dan lihatlah
proyek ambisius ini. Begitu mempunyai potensi yang luar biasa besar.
Katakanlah saja olehmu
misalkan ada penonton yang tak terlalu suka dengan musik. Maka, tak perlulah
penonton itu mendengar musik kami, para penonton pasti sudah tertarik dengan
kedua vokalis kami yang cantik, bahkan sebelum kami memainkan musik kami.
Atau katakanlah saja
olehmu jika ternyata kaum Hawa yang tak tertarik dengan musik, dan itu berarti
mereka tak tertarik dengan kedua vokalis kami. Maka Made siap mengisi lubang ini. Atau jika para
penonton memang ingin menikmati musik, maka biarlah Ivan dengan petikan khasnya
dan Rio gitaris terbaik kelas kami yang akan menjawabnya.
******
Tak semua band dapat
tampil dalam MPDK. Itu dikarenakan acara ini hanya berlangsung satu malam saja.
Sehingga waktunya terbatas. Akibatnya, ada batasan kuota untuk band yang dapat
tampil.
Kuotanya pun dibagi-bagi
lagi menurut angkatan. Karena MPDK adalah acara perpisahan kelas dua belas maka
kuota band untuk kelas dua belas pun lebih banyak.
Karena adanya batasan
kuota tersebut, maka diperlukan semacam kualifikasi terlebih dahulu bagi
band-band yang ingin tampil dalam MPDK. Dan kualifikasi itulah yang aku sebut
audisi di atas tadi. Dan di audisi itu pula Cana ditaksir salah seorang juri.
Pada mulanya kami
menargetkan tampil dalam MPDK dengan penuh gaya. Itu berarti target pertama
kami adalah sekedar lolos audisi terlebih dahulu.
Selidik punya selidik,
setelah pendaftaran audisi band ditutup, ternyata hanya ada empat band kelas
dua belas, termasuk band kelas kami. Dan ternyata jumlah kuota band untuk kelas
dua belas juga ada empat pula. Praktis, berarti keempat band kelas dua belas
pasti dapat tampil dalam MPDK dan audisi hanyalah semacam formalitas belaka.
Kami senang dengan
berita baik ini, setidaknya fokus utama kami sekarang adalah langsung tampil
dalam acara MPDK. Namun ternyata kabar baik ini juga menyulut tantangan bagi
kami. Karena audisi ini juga berperan penting dalam menentukan jadwal tampil
band yang ada.
Maksudnya seperti ini, semakin tinggi nilai suatu band dalam audisi,
maka semakin besar peluang untuk memilih jadwal tampil yang mereka inginkan. Sehingga
serta merta kami menyambut audisi ini tidak sekedar acara formalitas. Karena
kami, yang awalnya menarget untuk sekedar lolos audisi, kini target kami telah
berubah ingin tampil prime time!
Kami ingin tampil pada waktu saat jam ramai. Maksudnya yaitu ketika para
penonton sudah datang semua dan pada saat ramai-ramainya penonton. Berarti
untuk dapat memilih waktu ideal tersebut, maka kami untuk amannya adalah harus
mendapat nilai tertinggi dalam audisi.
Lihatlah ini, Kawan, kekuatan dari sebuah proyek ambisius. Lihatlah awal
mula kami yang mempunyai target hanya sekedar lolos audisi, sekarang mempunyai
target menjadi pendulang nilai tertinggi
dalam audisi. Semangat kami pun berkobar untuk audisi ini.
Karena kami kelas dua belas, bisa dibilang kami freelance untuk persiapan band-band ini. Namun bisa juga dibilang
tidak freelance. Karena sebagaimana
kalian tahu, kami juga harus mempersiapkan sekolah kami masing-masing untuk
jenjang yang lebih tinggi.
Dan untuk dapat diterima dalam perguruan tinggi itu bisa melalui
beberapa jalur. Salah satunya adalah jalur SNMPTN, atau dulu yang biasa disebut
dengan jalur Undangan, atau dulunya lagi disebut dengan jalur PMDK. Ya,
begitulah, Kawan, Indonesia adalah negara yang sangat fleksibel. Dan karena saking fleksibelnya, sering kali
membingungkan masyarakatnya sendiri.
Inilah yang aku sebut freelance gak
freelance. Karena jika ternyata kami,
atau mungkin salah satu anggota dari band kami ada yang tidak diterima di jalur
SNMPTN ini, maka yang bersangkutan harus mengejar melalui jalur tes tulis
nasional. Itu berarti yang bersangkutan harus vakum sementara waktu dari
kegiatan band.
Kami semua tentu berharap diterima di SNMPTN ini. Karena dengan begitu,
akan memudahkan langkah kami untuk mencapai target kami yang baru. Namun,
bagaimanapun juga kami harus memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin bisa
terjadi.
Akhirnya, kami mempunyai time line
beserta deadline-nya. Jika dihitung-hitung,
maka kami mempunyai waktu sekitar dua minggu sebelum pengumuman SNMPTN. Jadi
artinya kami harus menyelesaikan lagu-lagu kami dalam dua minggu.
Karena jika tidak diselesaikan dalam dua minggu itu, dan ternyata ada
salah satu dari kami yang vakum, maka praktis anggota kami yang vakum tersebut
hanya mempunyai waktu empat hari mempelajari semua lagu sebelum audisi.
Sebenarnya bukan mustahil, namun untuk menghasilkan permainan musik yang
bersih, empat hari merupakan waktu yang cukup singkat.
Hingga akhirnya dua
minggu tak terasa terlewati. Dan dua minggu itu sebenarnya waktu yang lebih
dari cukup untuk menyelesaikan dua buah lagu untuk kami audisi nanti. Namun kenyataannya, biasalah anak muda, kami
hanya menyelesaikan satu lagu, hehe.
Permasalahannya mulai
dari tidak menemukan lagu yang bagus, hingga aransemen yang kurang menggigit.
Muncul ide untuk me-medley (menggabungkan)
beberapa lagu, namun masih belum menemukan lagu yang cocok untuk di di medley.
Sering kali kami
menemukan lagu yang cocok bagi sebagian anggota, namun tidak cocok bagi sebagian
anggota yang lain. Tiga tahun bersama tidak serta merta membuat semuanya
menjadi mudah. Terkadang menjadi masalah yang rumit malah. Karena kami tidak
ingin melukai sahabat kami yang telah bersama tiga tahun.
Dan apa yang menjadi
kemungkinan terburuk kami menjadi nyata. Cana dan aku harus berjuang lagi
melalui jalur tulis nasional. Kabar baik untuk Dinsa, Made, Ivan, dan Rio
karena sudah memastikan perguruan tinggi mereka masing-masing. Namun sebaliknya
bagi aku dan Cana. Dan menurutku secara keseluruhan, band kelas ini sedang
diujung tanduk.
Dua hari setelah
pengumuman SNMPTN, kami latihan lagi. Cana tak datang, dia sampaikan via
telepon bahwa ia tak bisa datang hingga selesai ujian tulis nasional. Aku pun
sebenarnya tak berniat datang, namun aku tak enak jika harus menyampaikannya
via sms ataupun telepon. Aku ikut latihan hari itu untuk dapat menyampaikan
persis apa yang disampaikan oleh Cana secara langsung.
Ditengah-tengah
istirahat latihan, aku berbicara dengan tarikan napas yang sangat berat
disetiap kata,
“Rek, sawangane aku
gak isok melok latihan maneh mari ngene.” (Kawan,
sepertinya aku tidak bisa ikut latihan lagi setelah ini.)
Suasana hening sejenak.
Ivan memecah keheningan,
“Iyo bro santé ae,
woles-woles.” (iya
bro santai saja, tenang-tenang.)
Yang lain menimpali,
“Wes, masalah lagu gak
usah mbok pikir, arek dewe ono akeh. Isoklah H-4.” (Sudah, masalah lagu tidak usah kau pikirkan, kita ada banya.
Bisalah H-4.)
Lihatlah kawan-kawanku
yang luar biasa ini. Betapa kata-kata mereka sangat membesarkan hati.
******
finally ? hahaha
BalasHapus