Mungkin ini agak kontroversial ya dengan judul ta’aruf.
Kontroversialnya bukan berkaitan dengan yang macem-macem. Menjadi kontroversial
soalnya artikel ini merupakan (yang lagi-lagi) cerita hidupku yang nyata, bukan
artikel mengenai arti ta’aruf. Kan kawan-kawan bisa saja berpikir bahwa ini
merupakan artikel mengenai arti ta’aruf dengan melihat judulnya saja. Saya mohon
maaf jika teman-teman merasa tertipu. Namun saya akan coba sedikit-sedikit
menjelaskan ta’aruf sehingga mungkin bisa sedikit membawa manfaat. Oya, by the
way, aku sedikit suka membuat kontroversi kecil-kecilan, hehe.
Seperti yang telah ku sebutkan, cerita ini merupakan
pengalaman pribadi. Begitupun juga dengan cerita-cerita lainnya, namun ada juga
yang fiksi kayak yang It’s Too Late, Tania. Hehe, promo. Peace man. Tapi
senyata-nyatanya pengalaman seseorang, namanya penulis pasti selalu menulis
beberapa “bumbu” untuk membuat tulisannya menarik. Jadi, jika teman-teman
membaca buku fiksi, jangan seratus persen percaya, ada hal-hal yang menjadi
“bumbu”. Nah, mana yang “bumbu” dan mana yang nggak? Itu dia bagian
kontroversinya, dan itulah madunya. Hahaha…
Waktu itu, ada saudara ku yang lagi namanya, ehem, lamaran.
Saudara ini gimana ya njelasinnya, lumayan jauh silsilahnya. Kalian pasti
bingung, beneran ini, serius. Takutnya jika ku beritahu kalian pusing terus
muntah-muntah. Tapi aku jelasin aja biar kalian pusing dan muntah-muntah, hehe.
Ya beliau itu adalah anak dari adiknya nenekku dari pihak ibu. Bingung? Segera
ke toilet, keluarkan isi perutmu sebelum aku yang mengeluarkannya. Well, geje,
I know, sorry.
Kebetulan waktu itu mama ku ditelpon untuk ikut. Aku yang
mendengar kabar itu tentu saja sangat antusias di dalam hati, tapi biasa aja di
luar biar gak dibilang gila. Bukannya bermaksud apa-apa, karena aku belum
pernah ikut acara seperti itu ketika aku sudah sedikit besar, pernah ikut kayak
acara gitu tapi dulu, pas SD, I know I was katrok. Tapi, menurutku ini acara
yang sangat penting, karena cepat atau lambat aku mungkin juga akan mengalami
hal yang sama. Hehe. Inilah kesempatanku untuk ikut dan belajar
sebanyak-banyaknya. Ini berkaitan dengan “masa depan” ku, jadi ini benar-benar
penting, hehehe. Iya sih memang bisa saja aku nanti ndak pake acara kayak
begituan, bisa saja aku langsung nikah nanti, atau bisa saja pacaran hingga 3
tahun terus langsung nikah, atau mungkin malah cuma kenalan seminggu terus
langsung nikah, tak ada yang tahu. Yang tahu hanya Allah yang telah mencatat
semuanya di Lauhul Mahfudz. Tapi ini tetep aja acara penting, ini bisa saja
berkaitan dengan “masa depan” ku juga.
Lha terus apa hubungannya sama ta’aruf? Ta’aruf sendiri
biasanya diartikan sebagai perkenalan, silahturahmi, atau kunjungan calon
mempelai pria ke calon mempelai wanita. Di dunia dewasa ini sedikit bergeser
artinya menjadi lamaran. Ta’aruf sendiri biasanya diselenggerakan untuk membuat
para calon mempelai untuk saling berkenalan dan saling mengerti satu sama lain
sebelum mereka menikah dan juga membuat persiapan segala sesuatunya sebelum
para calon mempelai melanjutkan hidup bersama kelak. Dan tahap perkenalan ini
pun masih ada batasnya, mereka tidak bercakap-cakap berdua saja namun juga
harus ditemani mahram-nya masing-masing. Bahkan Rasulullah SAW sangat
menganjurkan Ta’aruf bagi mereka yang akan menikah. Ada hadits-nya juga kalo
gak salah.
Oke kembali lagi ke saudara ku. Saudara ku yang akan
ngelamar itu cowok. Nah, di adat Jawa, jika kalian di ajak untuk ikut acara
lamaran oleh pihak lelaki, berarti itu ikut membawa hadiah untuk diberikan ke
pihak cewek. Aku yang baru tahu informasi itu langsung ku simpan baik-baik.
Akan ku ingat, bukankah aku benar-benar ingin belajar? Nah, itu sih adat Jawa,
tapi gak tahu kalo adat yang lain. Hehe, gak tahu juga di Rusia kayak gimana.
Kenapa harus Rusia? Random.
Acaranya hari Minggu, dan aku sudak siap sejak fajar mulai
menggeser bulan. Ya nggaklah, aku siapnya jam setengah delapanan, jam delapan
berangkat. Harus ku akui, aku sedikit merasa tidak sabar selama diperjalanan.
Tapi memori sedikit lucu muncul ketika aku baru
saja memasuki daerah kebraon. Karena waktu itu ada temen ku yang mau ke
daerah kebraon tapi nyasar. Terus dia tanya orang, katanya, “Kudu nyebrang laut
dek.” Huahaha, lha mbok pikir antarane Suroboyo karo Sidoarjo ono laute? Nek
Lapindo iyo laut, laut lumpur. Kalo mau ke kebraon mah nyebrang kali masih
masuk akal. Tapi nek kali diarani laut iku yo gak muasuk.
Setelah sampai di lokasi, barang-barang yang dibawa calon
mempelai pria diberikan, termasuk yang ku bawa ini. Setelah itu acara seperti
biasa. Kok biasa? Iya, bener. Biasa. Sumpah, biasa. Pembukaan, terus sekapur
sirih dari perwakilan pria, sholawatan, sekapur sirh lagi dari perwakilan
wanita, do’a, dan hala bihalal (makan-makan).
Dudukku cukup jauh agak di belakang. Memang tidak sesuai
harapan sih karena memang niatnya pingin belajar sebanyak-banyaknya untuk “masa
depan”, tapi mau bagaimana lagi. Saya bukan termasuk sesepuh yang memang
seharusnya duduk depan. Malah saya yang paling muda waktu itu dari pihak
laki-laki. Ya sudah, saya maksimalkan dari belakang.
Dari sekian banyak acara yang biasa itu, waktu sholawatan
dan waktu halal bihalal lah acara yang paling menarik. Karena waktu sholawatan
itu, para calon mempelai saling bertukar cindera mata. Bukan oleh-oleh atau
hiasan semacam itu -,- tapi kayak perhiasan. Saya yang, ehem, “Alhamdulillah”
dapet duduk belakang, gak bisa liat apa-apa saat sholawatan. Karena semua yang
ada di situ berdiri sambil bersholawat, sambil melihat para calon mempelai
bertukar cindera mata. Saya? Saya hanya bisa melihat kumpulan kepala item di
depan . Sungguh menyenangkan. Ironis lebih tepatnya. Trus kenapa waktu halal
bihalalnya menarik? Ya menariklah, lha orang makan-makan kok. Hehe
Biasanya kalo acara sekapurh sirih atau sepatah dua patah
kata gitu kan membosankan ya? Tapi ini ndak. Bukan karena acara seperti itu
tidak lagi mebosankan, tapi karena memang sebenarnya saya suka mendengarkan
orang yang berbicara, berorasi, memberi sambutan, berceramah di depan atau di
podium atau pun di mimbar. Tapi ya tergantung tema yang dibawakan sih. Jika
temanya asik ya bagus, aku jadinya gak ngantuk dan memperhatikan tu orang yang
ngomong. Tapi yang paling penting cara penyampaian, kalo enak, cukup unik dan
menghibur, atau minimal berapi-api saya insyaAllah pasti sadar dan ndengerin.
Ndak kayak kepala suku nugara kita akhir-akhir ini, kalo pidato mbaaca teks dan
nada bicaranya rendah mulu. Ngantuk. Gak kayak kepala suku negara kita yang
pertama, hehe. Ya semoga tahun depan mendatang kepala suku negara kita
berapi-api, trus bisa mengeluarkan kejahiliyahan mental bangsa ini. Bentar, ini
kok ngomongin bangsa sih jadinya? Oke, kembali lagi.
Ya, sekapur sirih dari pihak laki-laki masih ku ingat bahwa
waktu itu beliau, mengatakan betapa indahnya hidup ini. Beliau menggambarkan seorang
anak kecil yang sering bermain bersama orang tuanya kini, sebentar lagi akan
menjali hidup dengan mandiri. Beliau menganalogikan sebagaimana indahnya hidup
kupu-kupu. Yang awalnya dari ulat yang sulit dikendalikan hingga akhirnya nanti
lambat laun berubah selama menjadi kepompong, dan akhirnya hiduplah kupu-kupu
yang indah. Beliau bahkan sampai sesenggukan menahan tangis. Well, memang
mengharukan.
Tapi sekapur sirih dari pihak wanitalah yang menjadi
pelajaran utama ku hari ini. Beliau mengatakan sangat senang menerima calon
mempelai laki-laki beserta rombongan keluarganya. Lalu beliau juga berkata
bahwa jika diibaratkan, kasarannya anak cewek itu seperti barang dagangan. Kalo
cowok itu seperti pembeli, seng nggolek, kasarane ngunu. Nah, saat orang tua
kalo anak ceweknya ini ditaksir orang, ya pasti seneng. Soalnya itu berarti
barang dagangannya itu ditaksir orang, tinggal orangnya mau beli ndak.
Maksudnya beli ya menikah, Kawan. Dan tentu saja, orang tua yang bersangkutan
baru merelakan barangnya setelah melihat calon pembelinya luar dan dalam pula.
Oleh karena itulah, anak cewek itu sangat dieman, karena
kalo misalnya barang dagangannya itu terusak, maka akan susah. Menjadi aib
keluarga. Kau pasti mengerti maksud terusak ini, Kawan. Hingga akhirnya
cukuplah kalian bisa mengerti bagaimana rasanya orang tua yang punya cewek yang
lagi ditaksir sama cowok. Senang, tapi juga sekaligus was-was, karena seperti
dagangan, barang dagangannya itu lagi diamati sama calon pembeli, kalo cocok
Alhamdulillah dibeli, tapi kalo calon pembelinya jahannam na’udzubillah,
bisa-bisa pecah barangnya.
Dapat kita simpulkan juga bersama bahwa sebenarnya kalo
tindakan asusila, misalnya seperti perkosaan, melakukan hubungan intim diluar
nikah, dll, selain merupakan dosa besar dan melanggar hukum, tapi juga telah
merusak barang dagangan orang dan telah mencuri barang dagangan itu, coba bayangkan bagaimana perasaan orang tuanya.
Atau misalkan pacaran yang kelewatan sampe grepe-grepe, maka bisa digambarkan
seperti menggores sedikit barang dagangannya. Misalkan juga ngerebut istri
orang lain atau ngrebut pacar orang lain, bisa digambarkan seperti merebut
barang dagangan orang. Seperti itu.
Itu analogi yang sangat muasuk sekali bagi ku dan aku merasa
bersyukur akan pelajaran yang ku dapat ini. Oleh karena itu, mari yang cowok
terutamanya diriku, kita adalah calon pembeli, makan marilah kita jadi calon
pembeli yang baik. Kalo memang lagi nyari ya yang halus dan sopan, jangan
sampai memecahkan, mencuri, bahkan jangan sampai menggores barang dagangan
orang. Terus untuk yang cewek, jangan mau digrepe-grepe, walau mungkin kalian
merasa senang digituin (aku ndak tahu sih, tapi mungkin aja ada), tetep jangan
mau. Kalo bisa tampar aja tu cowok kalian, putus, move on, masih banyak calon
pembeli yang bermartabat perilakunya kayak bangsawan, terus jalan sama gue
(lho?). Ini semua juga menjelaskan pandangan ku tentang kedekatan dengan lawan
jenis. Boleh aja, pokoknya jangan kelewatan. Kalo bagi kalian yang gak mau
ambil risiko, ya mendingan gak usah sekalian, beres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar