22 Jan 2014

Goolll! : Play

Hari itu bukanlah pertandingan pertamaku sebagai kiper di tim kelasku. Tapi hari itu merupakan salah satu hari yang tak terlupakan. Hari ketika kelasku, X-1 melawan X-Akselerasi pada acara class meeting semester II.

Masih ku ingat hari itu juga adalah salah satu hari kelabu bagiku. Hari ketika aku terserang penyakit. Penyakit yang sering menghantui anak Adam usia 14 - 20 tahun. Penyakit anak muda, kegalauan tiada tara tanpa pencerahan.

Sungguh, sangat alay. Tapi biarlah seperti itu, aku pernah SMA, aku pernah ababil, dan mungkin juga sekarang masih seperti itu. Sangat memalukan sebenarnya, tapi tentu kalian juga punya masa-masa tanpa pencerahan itu kan, Kawan? Jadi biarkan saja seperti itu. Biarkan alay seperti itu, hahaha.

Saat itu rasa percaya diriku merosot, terperosok dalam jurang. Saat menuju lapangan pun aku berada di belakang sendiri dari teman-temanku. Melihat ke bawah. Berpikir. Bukan tentang pertandingan tapi tentang yang lain.

Aku sangsi jika teman-teman ku waktu itu tahu jika saat itu aku terpuruk. Besar curigaku mereka hanya menganggapku tegang, nervous sebelum bertanding. Jadi, mereka cuek saja.

Sebelum bertanding, ketika masuk lapangan, hanya satu yang ada dalam pikiranku tentang pertandingan. Tidak kemasukan gol lebih dari satu sudah cukup memuaskan bagiku. Sungguh. Bagaimana bisa aku tidak berpikir seperti itu jika seperti inilah gambaran kondisiku :

Pertama, kepercayaan diriku berada di level minus. Jelaslah modal pertama sebagai seorang kiper hilang. Kedua, karena itu, motivasi ku pun ikut drop. Aku berdiri ogah-ogahan. Berlari mengambil bola yang masuk ke gawang saat latihan sebelum bertanding juga ogah-ogahan. Ketiga, tanpa mengurangi rasa hormatku pada X-Aksel, walau di atas kertas kami bisa menang mudah, X-Aksel mempunyai Syaiful. Syaiful adalah salah satu Kawan ku yang luar biasa ketika kami bersama-sama melewati sebuah kepanitiaan yang sakral. Dan ia seperti Cahyo-nya X-Aksel, bisa sangat berbahaya dan merusak semuanya. Kondisnya bisa jadi lebih kritis saat X-Aksel dapat mencetak gol lebih dulu dan memporak-porandakan semangatku jauh lebih drop lagi.

Dari ketiga kondisi itu seharusnya sudah cukup alasan bagiku untuk kebobolan lebih dari satu kali. Tapi, aku belajar tenang saat itu. Tak ku tunjukkan emosi ku. Oleh karena itu aku berpikir hanya kebobolan satu sudah memuaskan, karena aku masih memiliki ketenangan yang berusaha aku tancapkan di hatiku.

Tick tock tick tock. Time was up! Pertandingan di mulai. Aku antara focus dan tak fokus. Saat Anta meninggalkan posnya pun aku diam saja. Sungguh kondisi yang membahayakan. Kami sebenarnya mengotrol pertandingan di menit-menit awal babak pertama seperti di atas kertas.

Namun, situasi berubah. Entah mengapa kami tertekan. Ku lihat sedikit kepanikan dari teman-temanku, tapi aku berusaha tenang, tapi tetap tanpa rasa percaya diri. Sehingga aku hanya berdiri tegak, bahkan tanpa kuda-kuda persiapan untuk melompat menangkap bola jika bola ditendang ke arah gawangku. Kritis!

Benar saja, Syaiful menendang bola. Aku tak kaget, tangan ku sudah siap menepis bola. Namun, sebelum bola menyentuh tanganku, bola tersebut menyentuh tangan orang lain.

"Pprriiittt..."

Suara peluit wasit. Aku tercengang. Seluruh anggota kelasku yang ikut melihat pertandingan juga tercengang. Ya ampun, itu Made! Itu tangan Made! Pinalti! Shit, shit, shit!

Made melihatku, aku melihatnya. Jelas ia bersimpati, berduka lebih tepatnya. Tapi apalah daya, aku yang akan menghadapi pinalti ini. Seluruh anggota kelasku yang melihat itu pinalti hanya bisa terdiam. Aku juga seperti itu, diam. Namun, aku berusaha tenang. Inilah pelatihanku, inilah yang seharusnya ku tunggu.

Ku tebak Syaiful yang akan mengambil tendangan itu. Dan benar saja, Syaiful yang akan mengambil. Ini masih pertengahan babak pertama. Jika kami kebobolan, maka kami dalam pressure, bisa drop malah mental kami dan kebobolan lebih banyak gol lagi. Apalagi melihat kondisiku yang ngenes memprihatinkan. Dan apa yang ku takutkan pada poin ketiga bisa menjadi nyata.

Syaiful bersiap. Dia mengambil ancang-ancang. Dia berlari untuk menendang. Saat berlari itulah aku berpikir. Ada dua hal yang bisa ku lakukan dalam kondisi seperti itu. Pertama, aku bergerak bersamaan saat Syaiful menendang dan mencoba menebak arah bola. Kedua, aku diam terlebih dahulu menunggu arah bola baru bergerak. Ada beberapa kemungkinan. Yang kutahu, tendangan Syaiful sangat keras. Jika aku ambil opsi kedua, bisa-bisa aku tidak sanggup menggapai bola karena terlalu keras. Tapi aku juga sangsi Syaiful bisa mengarahkan tendangan kerasnya dengan baik.

Kawan, ini adalah salah satu keanehan yang ku miliki. Aku sendiri juga tak mengerti mengapa aku dapat berpikir seperti itu,  dalam kondisi kritis dan waktu sesingkat itu, aku bisa memberikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan beberapa opsi tindakan yang bisa aku lakukan.

Akhirnya ketika Syaiful akan menendang, tepat sebelum kakinya menyentuh bola, entah mengapa aku yakin bahwa Syaiful tak mampu mengarahkan tendangannya dengan akurat, sehingga aku menunggu arah bola baru bergerak. Duuukkkk!!!!

“AAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....!!!!!!!!!” suara anak-anak cewek X-Aksel berteriak mengharapkan gol.

Shit! Tendangannya keras sekali, namun untungnya arahnya mudah saja. Tepat di atas tengah hanya sedikit bergeser ke kiri. Itu cukup mudah. Aku seharusnya bisa menangkap bola itu. Tapi kau tahulah, Kawan, aku tak percaya diri, aku tepis bola itu dan hanya menghasilkan tendangan sudut. Untungnya feeling ku tepat untuk memutuskan menununggu arah bola.

Tiba-tiba saja,

“WWWWhhhhhhhhhooooooooooooooaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!”

Bergemuruh, lapangan bergemuruh. Suara tepuk tangan membahana seantero lapangan. Anak-anak cewek kelasku berteriak keedanan hilang akal. Made tiba-tiba datang menjendul kepala ku sambil tersenyum senang. Aku tak mengerti. Sedetik kemudian aku sadar. Semua penonton sangat terhibur dengan drama pinalti tadi.

Oh indahnya. Rasa percaya diriku mulai bangkit. Tapi aku tetap berusaha bersikap tenang. Tidak tersenyum, dan juga tidak berteriak karena berhasil menggagalkan pinalti lawan. Aku kembali berusaha fokus ke pertandingan, walaupun pikiranku masih galau. Ya ampun, sungguh memalukan untuk diceritakan. Haha, tapi biarlah seperti itu.

Ketika babak pertama berakhir, kami berhasil mencetak gol. Kami unggul 1 - 0 dibabak pertama. Saat jeda itulah aku berpikir. Dan aku menyadari bahwa wah Made ini kurang ajar sekali rupanya. Sudah handsball, membuat diriku harus berhadapan dengan pinalti, setelah pinaltinya gagal dia malah njendul-njendul kepala ku. Hahaha, kampret.

Tak lama babak kedua berjalan, kami unggul 2 – 0. X-Aksel mulai bereaksi untuk mengejar ketinggalan. Kami bertahan cukup dalam, dan X-Aksel memberikan permainan umpan-umpan terobosan untuk membongkar pertahanan kami. Tentu sebuah usaha desperate bagi mereka karena umpan mereka pasti selalu lebih dekat padaku sebagai kiper lawan. Bahkan ketika ada umpan terobosan lawan yang tidak mengarah ke gawang dan Syaiful mengejarnya, aku berpura-pura menendang bola itu, Syaiful melompat untuk memblok, tapi bolanya aku biarkan keluar lapangan. Syaiful tertipu.

Aku mendengar anak Aksel yang berkomentar saat aku ambil bola yang keluar lapangan,

“Limpat diganti ae iku, haha,” dengan nada kesal sambil bercanda.

Ya ampun, sekeren itukah? Aku melambung senang sekali. Galau ku lenyap ditelan kata-kata itu. Sekarang apa lagi yang bisa ku harap? Tak ada alasan bagiku untuk galau kembali. Aku masih kelas X dan mendapat sambutan teriakan penonton membahana seantero sekolah. Luar biasa, apa lagi yang bisa ku harap sebagai siswa yang tidak ganteng amat ini?

******

Tak jauh berbeda. Kelas XI pun komposisi susunan pemain kelasku tetap sama. Aku tetap jadi kiper, dan Anta tetap di belakang. Kali ini kami bertanding dalam kompetisi yang sama pula, yaitu class meeting semester II. Lawan pertama kami XI – 7.

Kami confidence bahwa kami akan meraih kemenangan. Tapi kami juga tidak percaya dengan cara  semudah ini, kami sudah unggul 2 – 0 ketika istirahat babak pertama. Kami sangat rileks. Sangat tenang. Bahkan kami sudah unggul 3 – 0 ketika awal babak kedua. Namun justru setelah keunggulan 3 – 0 itu membuatku tidak tenang. Karena, aku ingin bermain!

Ayolah, kita sudah unggul cukup jauh. Ini sudah pertengahan babak kedua dan kita unggul sejauh ini. Berilah aku kesempatan bermain. Aku minta tolong Ivan. Aku memanggilnya saat ada kesempatan bola keluar lapangan, memintanya untuk bertukar posisi denganku. Ivan tidak mau. Kampret.

Made? tidak mungkin. Dia juga pasti kampret lagi, haha. Anta? Tidak, tidak. Dia harus tetap di belakang, apapun yang terjadi. Entah itu gempa bumi, tsunami ataupun wabah polio, Anta harus tetap di belakang. Tinggal Cahyo. Cahyo. Ya, Cahyo. Aku memanggilnya, lalu mengisyaratkan aku ingin bermain. Dia melihatku, cukup lama. Aku memelas. Akhirnya Cahyo bersimpati, dia mau.

Yes! Yes! God damn unbelievable! I was playing, I was playing! Aku seperti anak kecil yang melihat  kodok. Lucu, hijau berlumut, berlendir dan menggemaskan. Sepertinya aku salah memberikan perumpamaan, tapi...who cares? I was playing!

Aku langsung berlari ke tengah agak ke kanan. Ivan harus pindah ke kiri. Aku tak peduli. Aku lebih nyaman di kanan. Sorry, van. Tapi aku jarang bermain, jadi berilah temanmu ini sedikit kesenangan, oke? Hahaha.

Permainan kami biasa saja ketika aku tidak menjadi kiper ini. Apa yang kami harapkan coba? Sudah unggul cukup jauh dan waktu tidak mungkin cukup untuk lawan mengejar ketertingggalan. Kami juga masih mengendalikan permainan, terus sedikit menyerang.

Sempat kami kehilangan bola saat awal-awal Cahyo menjadi kiper menggantikanku. Counter attack! Posisi Cahyo terlalu kedepan, sangat jauh ke depan dan hampir sejajar dengan Anta. Dan Cahyo terlihat seperti tidak akan menggunakan tangannya, namun menahan bola dengan kaki. Yaelah, kampret juga lo yok.

Untungnya di situ ada Phil Jones, tumben banget enak anak itu. Jadi gawang kami masih aman. Sangat mengkhawatirkan memang, tapi aku ingin bermain. Jadi biar tetap Cahyo saja yang di situ. Biarlah posisinya terlalu maju atau gimana, yang penting aku bermain. Hahaha.

Selebihnya kami masih menguasai bola. Hingga akhirnya bola jatuh di kaki ku. Aku yang berada di tengah, melewati kawalan Probo, anak kelas XI – 7. Aku bawa bola ke sisi kanan lapangan. Aku berusaha agak ke tengah lagi, namun dihalangi. Akhirnya aku sprint menyisir sisi lapangan. Lalu aku crossing mendatar ke tengah. Lalu DES! Bola masuk ke gawang setelah diselesaikan dengan tenang oleh Made dengan kaki kanan. 4 – 0!

Ini dia si anak besar kampret yang berhasil menyelesaikan umpanku. Aku menunjuknya dengan sangat senang, lalu tos seperti biasa. Luar biasa. Aku bermain dan juga langsung berhasil seperti apa yang aku inginkan, mengkreasi peluang, memberi assist. Luar biasa!

Keesokannya, kami bermain lagi. Aku masih menjadi kiper lagi. Kami lawan kelas X. Aku lupa X apa, yang jelas kelas X. Seperti yang telah diduga, mereka bermain sangat dalam dan mengandalkan serangan balik dalam menyerang. Aku tahu terkadang itu bisa sangat berbahaya karena sering kali Anta meninggalkan posnya untuk membantu serangan yang macet, dan tak jarang aku memanggilnya untuk kembali.

Bagaimanapun juga kami masih menguasai pertandingan. Lalu akhirnya datang petaka itu. Lawan mendapat throw in, mungkin buka throw in ya istilahnya dalam futsal, tapi terserahlah, pokoknya itu. Tidak berbahaya sebenarnya. Tendangannya mengarah ke gawang, berusaha memberikan set piece kepada striker, namun sama sekali tidak berbahaya. Aku juga sudah siap dalam posisi yang tepat untuk menangkap dan memotong arah datangnya bola.

Namun alih-alih bola jatuh kepelukanku, bola justru berbelok setelah membentur kepala seseorang. Terang saja bola berbelok dan masuk ke gawang ku dan aku tak bisa mengantisipasi yang telah terlanjur bergerak. Dan yang tidak bisa dipercayanya lagi adalah...shit! Itu kepala Made! Bunuh diri! Entah mengapa Made sering merepotkanku dengan futsal ini, layaknya Cana dengan beat yang ia ciptakan di cerita Made by The 90’s.

Secara mengejutkan lawan unggul lebih dulu. Tentu semua terhenyak, tapi tidak dengan kelas X yang senang dengan gol itu. Made tersenyum meminta maaf agar tidak larut dalam down, tapi aku berusaha biasa saja. Aku berusaha tidak terlihat kecewa ataupun marah. Sangat penting dalam kondisi seperti ini untuk tidak larut dalam emosi. Inilah salah satu pelatihan yang ku nanti.

Selebihnya, lawan terlihat ingin mempertahankan keunggulan hingga babak pertama berakhir dan tak terlihat ingin memberikan counter attack. Namun, lewat variasi serangan pertama, kami berhasil menyamakan keunggulan. Aku yang mengoper pendek bola ke Cahyo, digiring bola itu sendirian oleh Cahyo dan menembak bola itu sendiri. 1 – 1. Babak pertama berakhir.

Babak kedua dimulai. Lawan masih menerapkan strategi yang sama seperti awal babak pertama. Bertahan, namun tidak sepenuhnya bertahan. Sesekali menyerang dengan serangan balik, walaupun bisa dipatahkan. Pertengahan babak kedua, kami masih buntu. Masih 1 – 1. Sering kali juga Anta terlarut dalam penyerangan. Berkali-kali kuingatkan untuk kembali. Karena jika  saat itu kami kecolongan satu gol saja, tamatlah kami.

Dan benar, apa yang aku takutkan terjadi. Terjadi counter attack. Anta terlewati dari sisi kanan pertahanan. Kritis! Sang lawan menuju agak ke tengah menyongsongku. Disebelah kirinya, agak belakang, juga ada temannya siap men-support. Kulihat Cahyo, Anta, Ivan berlari sekuat tenaga untuk kembali. Aneh memang, di tengah kondisi kritis seperti itu aku masih melihat hal-hal yang tak perlu.

One on one! Tentu sebagai pertahanan standar kiper, aku maju untuk menutup ruang tembak lawan. DUKKK! Bola ditendang, secara bersamaan aku reflek menjatuhkan tubuhku ke arah kiri ke arah tiang jauh. Fuck! Bolanya meluncur menyusur tanah ke kanan, tiang dekat! Fuck, fuck, fuck! Lalu tiba-tiba saja DES! Kaki kananku yang masih berada di sisi tiang dekat berhasil memblok bola!

“AAAAAaaaaaaaaaaaaa......” suara penonton cewek tim ku dan tim lawan berteriak kencang histeris.

Namun semua itu tidak berhenti. Bola menuju teman lawan yang berada di sisi kirinya. Dia menendang kembali DUKK! Shit! Aku reflek maju sedikit dan langsung membalikkan arah tubuhku ke arah kanan, dan DAK! Kedua tanganku memblok bola dari tendangan kedua lawan.

“AAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!” kali ini suara lebih histeris dari sebelumnya.

Lalu bola hasil tepisanku menuju sisi kanan dan keluar dari lapangan. Counter attack yang menakutkan itu berhenti. Lalu lapangan bergemuruh,

“YYEaaaaaaaaaaaaaa.....WHHHOooooooooooooiiii!!!!!!!!!”

Tepuk tangan dan suara penonton membahana. Keras sekali. Meriah! Juga terdengar suara teman-teman cewek kelasku teriak-teriak gak karuan memanggil namaku. Aku melambung. Makanan dalam perutku terasa menyundul-nyundul diafragma karena berat organ pencernaanku yang terasa sangat ringan.

Aku berusaha bersikap tenang saja dengan suara penonton itu. Aku tidak berteriak puas setelah menghentikan serangan ganas itu. Aku hanya berdiri biasa. Berusaha tanpa ekspresi, walaupun di dalam hatiku puas sekali. Ingin rasanya aku tersenyum lalu melambai ke arah penonton yang cukup lama bertepuk tangan. Tapi untungnya aku tidak melakukan hal bodoh itu, Kawan.

Lalu mendengar suara-suara yang memanggil histeris namaku itu, aku masih mencoba bersikap biasa, tanpa ekspresi. Terlihat mengacuhkan suara itu, walaupun dalam hati aku ingin rasanya senyum tiada henti. Dan oh ternyata tak perlu jauh-jauh pergi ke langit ke tujuh menuju surga untuk mendapat kebahagiaan, dengan ini saja, aku sudah merasa terbang melewati langit ke tujuh itu. Hahaha, memalukan, tapi biarkan seperti itu.

Ketika suara-suara itu belum berhenti, aku masih berusaha tidak menunjukkan emosi. Berusaha tidak menunjukkan ekspresi. Berusaha terlihat kalem dan cool. Aku malah memberikan instruksi pada Cahyo dengan tampang serius untuk  menjaga sisi tiang jauh, dan tidak ingin kecolongan lewat set piece yang konyol lagi.

Ya ampun, aku terlihat sangat keren waktu itu. Sungguh. Sedikit memalukan memang, berpura-pura menahan senyum dan perasaan senang luar biasa agar terlihat keren. Hahaha, tapi biarlah seperti itu. Biarkan saja kenangan lucu itu seperti itu.

Pertandingan berjalan kembali. Set piece mereka tidak berjalan bagus, jauh melebar di sisi kiri gawang. Lalu kami menyerang seperti biasa. Aku ingin perjuanganku tadi berakhir manis dengan kemenangan. Dan benar saja, Cahyo mencetak gol lagi, lewat variasi serangan yang sama pula. Kelas kami bergemuruh. Aku yang melihat gol itu mengangkat kedua tanganku sambil berteriak kegirangan pula.

Lalu aku tersadar, aku telah menunjukkan emosiku. Damn! Aku, sekali lagi, harus gagal dalam usaha menjadi orang keren menurutku, yaitu menjadi orang yang mampu menyimpan emosinya. Dan aku yakin pada waktu itu bahwa aku akan menyesali perbuatanku itu. Berikutnya, terdengar nama Cahyo yang diteriakkan dengan nada histeris oleh teman-teman cewek kelasku.

******


Di sekolahku dulu, saat aku kelas XII ada pertandingan futsal antar generasi layaknya sebuah liga. Namanya SPL (Smala Premier League). Generasi (biasanya disingkat gen) mungkin bagi kalian yang belum tahu, Kawan, generasi di sekolah ku adalah sebuah gabungan kelas X, XI, dan XII dari tiap-tiap urutan kelas. Jadi contohnya Generasi Satu, itu berarti terdiri dari X – 1, XI – 1, dan XII – 1. Generasi Dua terdiri dari X – 2, XI – 2, dan XII – 2. Begitu seterusnya.

Karena membela panji generasi, maka yang bermain harus terdiri dari tiga angkatan, di mana masing-masing angkatan maksimal dua orang yang boleh bermain di lapangan. Waktu itu, aku yang merupakan Genji (nama dari gen satu) akan menjalani pertandingan pertama melawan gen 9.

Pertandingan pembuka, sangat penting untuk mendapat tiga poin pertama. Saat pertandingan akan dimulai, semua berkumpul di lapangan tengah. Sangat ramai, semua siswa berkumpul di generasinya masing-masing, suasana yang begitu meriah luar biasa. Ketika bersiap-siap, aku bermain dengan bola, lalu tiba-tiba cewek teman kelasku bilang,

“Kamu kiper ae pat.”

“Emoh. Emoh, aku ingin main,” jawabku singkat sambil berlalu.

Aku sedikit keras kepala. Biar saja. Aku kelas XII. Waktuku sedikit. Aku ingin bermain. Apapun alasannya. Aku juga sudah mengisyaratkan ke yang cowok bahwa aku ingin main. Lagi pula akan aku tunjukkan bahwa aku juga bisa bermain dan membuktikan pada temanku itu. Kata-katanya yang menyuruhku menjadi kiper lagi adalah sebuah lecutan pribadi bagiku saat melawan gen 9 ini.

Dari kelasku, biasanya yang ikut bermain SPL adalah Cahyo, Ivan, Made, dan aku. Karena tiap angkatan maksimal dua yang bermain, tentu saja aku tidak bisa starter. Tak peduli bagiku, yang penting aku bermain. Biasanya yang menjadi starter dari kelasku jika tidak Cahyo – Ivan, ya Cahyo – Made. Tak masalah memulai dari bangku cadangan bagiku. Tak ada masalah sama sekali.

Pertandingan melawan gen 9 ini seharusnya berjalan mudah. Dan memang seperti itu kejadiannya. Babak pertama berakhir dan kami, genji, sudah unggul 2 – 0. Babak kedua berjalan sebentar, lalu Made keluar dan aku masuk. Here I went. Aku masuk, bermain.

Ya ampun, dapat bermain saja sudah membuatku senang. Aku seperti biasa, di tengah, namun agak ke kanan. Beberapa menit saja dan aku bisa mendapat peluang. Aku mendapat bola. Aku melewati satu pemain di sisi kanan lapangan, lalu sprint. Lawan yang telah ku lewati berusaha memberikan tekanan tapi tiada guna karena sudah di belakang. Sekarang aku dalam posisi one on one dengan kiper lawan!

Saat aku akan menendang bola, anehnya inilah yang bisa aku pikirkan. Kiper lawan namanya adalah Gopal. Kiper yang bagus dengan refleknya. Jika dalam posisi seperti ini, ketika aku menendang bola, pasti dia akan reflek menjatuhkan tubuhnya ke sisi tiang jauh, di sisi kiri ku. Kawan, itu merupakan reflek standar seorang kiper untuk menggerakkan badannya ke sisi tiang jauh. Itu berarti, jika aku menendang di bagian tiang dekat sebelah kanan, dia sudah tertipu.

Pengalamanku yang bisa menggagalkan bola dengan kaki saat menjadi kiper beberapa bulan yang lalu juga memberikanku ide untuk menyelesaikan peluang ini. Itu artinya aku tidak boleh menendang bola menyusur tanah. Intinya, tendang bola ke tiang dekat, sedikit dicukit, dan akan terjadi gol, semudah itu. Tidak perlu menendang keras sejadi-jadinya yang malah bisa saja bolanya keluar dari target dan membuang peluang.

Maka ketika aku menendang bola, DUK!! Tidak keras sama sekali, justru terlihat seperti dicukit sedikit. Dan benar saja, gol dengan mudahnya.  Memang bolanya sedikit menyentuh kaki Gopal (bagian paha lebih tepatnya), namun bola masih berjalan mulus menggetarkan jaring lawan. 3 – 0!

Aku yang menyadari itu berteriak kegirangan. Aku menggerakkan tinjuku di udara sambil melompat. Memang, Kawan, jika bermain, aku emosional, dan itu tidak apa-apa. Hahaha. Yang penting aku sudah menunjukkan aku bisa bermain, dan aku mencetak gol. Tak lama setelahnya, Made masuk untuk yang kedua kalinya dan menggantikanku. Tidak ada masalah bagiku bermain sebentar, atau pun tak menjadi starter, yang penting aku bermain.

Saat itu, pada akhirnya, kami berhasil menang empat gol tanpa balas.

Gameweek ke 2 SPL. Genji melawan gen 7. Ini akan sedikit ketat. Tapi kami tak gentar. Dan tentu saja aku tidak starter lagi, haha. Babak pertama berakhir dan kami hanya unggul 1 – 0. Pertengahan babak kedua aku masuk. Masih sama seperti sebelumnya. Lewat pergerakan yang sama, aku mendapat peluang. One on one dengan kiper lagi. Aku lupa kipernya siapa waktu itu, tapi yang jelas ia lebih tangguh. Ia tidak akan mengandalkan reflek, dia akan bergerak setelah melihat pergerakan bola. Nah itu cukup sulit.

Akhirnya aku mencoba tipuan, seperti Cristiano Ronaldo yang menendang pinalti, saat akan menendang ia berhenti sebentar, menunggu kiper terkecoh. Itu pula yang ku lakukan, namun shit-nya, ia tak terkecoh. Memang ada sedikit gerakan tapi ia belum mati langkah. Kampret.

Akhirnya, kuputuskan saja waktu itu sebelum aku membuang peluang dengan percuma. Aku tendang bola sekeras yang aku bisa. Tidak di tiang dekat, namun tepat di tengah, hanya saja sedikit mengarah ke tiang jauh. Bola hasil tendanganku dapat ditepis, namun lebih dikarenakan pengarahan bola yang setengah-setengah daripada kerasnya tendangan bola, hasil tepisannya tidak sempurna. Bola masih meluncur ke gawang.

Ya ampun! Gol lagi. Lihat itu, Kawan. Gola lagi! Oh betapa senangnya aku. Aku selebrasi menunjuk ke arah suporter genji. Bukan berarti aku mendedikasikan gol ku untuk genji, namun maksud utamaku adalah, lihatlah aku bermain, Kawan! Aku bisa berkontribusi selain menjadi kiper. Dua pertandingan dan dua gol, tidaklah buruk bukan untuk seorang pemain yang terkadang terbantu oleh keberuntungan ini?

Gameweek ke 3 SPL. Genji melawan gen 6. Ini pertandingan sulit. Semacam big match karena kedua tim belum pernah kalah dalam dua laga terakhir dan selalu meraih kemenangan. Dan memang pada kenyataannya gen 6 termasuk tim yang kuat.

Aku masuk pertengahan babak pertama. Nothing changed. Skor kacamata masih mengakhiri babak pertama. Lalu aku keluar ketika babak kedua. Ketika waktu sudah memasuki 2/3 babak kedua, aku masuk lagi. Skor juga masih kacamata.

Kami dalam tekanan hebat saat itu. Namun seperti biasa, aku berada di posisi favoritku, berada di tengah. Siap membaca pergerakan aliran bola lawan. Dan ketika itu, saat itu, aku membaca aliran bola mereka. Terbaca! Umpan mereka berhasil ku potong! Langsung saja aku berlari membawa bola ke depan di tengah-tengah lapangan.

Di depanku sudah menunggu pemain bertahan lawan yang di tinggal sendirian bersama kiper. Sedikit kupelankan kecepatanku, sekalian menunggu datangnya kawan dari belakang. Terlalu lama datangnya support, akhirnya aku mencoba menggocek bola. Aku berhasil melewatinya, dan aku berlari menuju sisi kanan lapangan seperti biasa. Lalu ketika lawan berusaha menutupku, aku sudah melihat Cahyo berdiri bebas di tengah tanpa kawalan. Langsung saja aku cross bola mendatar.

Shit! Kiper lawan sudah membaca! Dia menunggu di depan Cahyo. Cahyo yang terlihat sedikit bingung, tiba-tiba saja mendengar suara dari seorang pemain tim kami yang maju membantu serangan,

“Mas! Mas!”

Sambil menunjukkan gestur untuk mengoperkan bola padanya. Cahyo langsung saja mengoper, lalu DESS!! Ramzy, Ramzy adik kelas ku, kelas X, menendang bola. Kiper yang sudah mati langkah ketika bola dioperkan Cahyo ke Ramzy tak berkutik. Jala gawang lawan bergetar! GOL! Luar biasa, kami semburat tak karuan menuju suporter genji, beramai-ramai cenderung anarkis. Aku pun demikian, haha. Akhirnya, pertandingan berakhir. 1 – 0, kemenangan untuk kami! Luar biasa! Tiga pertandingan, dua gol, dan satu key pass!

******

Sekarang, aku juga masih ikut tim futsal, setidaknya di program studi angkatanku ini. Untungnya bukan kiper lagi. Dan sepertinya peluangku kecil untuk kembali pada posisi kampret itu. Karena kiper kami, Ian, adalah kiper utama dulu di tim futsal sekolahnya. Kemampuannya tak perlu diragukan. Jika Ian tidak bisa, masih ada Jaya, anak dari Bontang yang dulu ketua OSIS di SMA-nya. Jika Ian jadi kiper, maka Jaya biasanya bermain. Jika Ian dan Jaya tidak bisa, masih ada Ario, anak asli Lombok.

Dua slot dibelakang pasti diisi Iif dan Ihsan, dua slot tersisa di depan biasanya bergantian antara Sambo anak Papua, Jaya, dan aku. Saat ini, aku berusaha lebih kalem dalam bermain. Tidak meledak-meledak setelah setelah mencetak gol, atau setelah memberi assist dan key pass, dan juga tidak meledak-meledak ketika merayakan gol teman-temanku. Bagaimanapun juga, aku berusaha untuk menghilangkan emosi, di mana pun itu. Dan walaupun aku biasanya bukan starter juga, bukan masalah. Intinya, sedapat mungkin aku menghindari posisi Lev Yashin itu.



21 Jan 2014

Goolll! : Lev Yashin

Kelasku, waktu SMA dulu, cowoknya hanya sebelas dari dua puluh sembilan homo sapiens yang telah berevolusi. Sebuah kesebelasan. Pas untuk bermain sepak bola. Namun pada faktanya, hanya delapan orang dari kami yang tertarik dengan sepak bola. Dan hanya 5-6 orang yang tertarik untuk bermain sepak bola.

Untungnya, karena di sekolah ku tidak ada lapangan sepak bola, maka futsal merupakan alternatif bagi para civitas academica cowok sekolahku. Sehingga keenam cowok di kelasku ini merupakan jumlah yang ideal untuk sebuah tim futsal plus satu cadangan. Dan juga, keenam cowok ini pula yang biasanya menjadi delegasi tim kelasku saat ada pertandingan futsal antar kelas.

******

Keenam orang ini adalah Cahyo, Ivan, Made, Anta, Rio, dan aku. Sebenarnya ada pemain ketujuh, yaitu Dimbo. Namun seingatku,Dimbo, dalam tiga tahun kita sekelas, hanya 1-2 kali saja pernah bermain dalam tim futsal kelas kami dalam pertandingan resmi antar kelas. Itupun dikarenakan beberapa pemain yang "inti" itu tidak bisa ikut bermain.

Tentu kalian tak lupa akan Ivan, Made, dan Rio yang telah ku ceritakan di Made by The 90's. Ivan dengan kepala berbentuk kacang oak-nya, Made dengan tubuh atletisnya, dan Rio dengan perpaduan kepintaran dan jiwa seninya. Oleh karena itu tak perlu ku ceritakan tentang mereka lagi, tapi sepertinya aku perlu sedikit mendeskripsikan tentang Cahyo dan Anta.

Dwi Cahya S, Seperti yang telah ku ceritakan sedikit di Made by The 90's, merupakan cowok yang flamboyant. Cahyo, panggilannya, merupakan arek olahraga asli. Arek lapangan. Jika pagi hari tidak ada di kelas maka cari ia di lapangan. Jika tidak ada di lapangan, maka cari ia di kantin. Sungguh tipikal anak SMA yang agak "mbleyer".

Entah mengapa ia senang sekali potong cepak, model tentara. Dan memang pada kenyataannya ia memiliki stamina yang kuat saat olahraga. Ia juga merupakan tim inti basket SMA. Cahyo juga lucu dan menyenangkan. Intinya Cahyo adalah arek gaul masa kini.

Erdianta Valenski. Panggilannya Anta. Anaknya putih tinggi dan sedikit Cina. Putih, cowok. Cowok, putih. Jelas, anak rumahan. Berbeda 180o dengan Cahyo.

Anta sebenarnya adalah temanku SMP. Bahkan kelas kami bersebelahan. Namun, waktu itu Anta berkhianat, keluar dari SMP ku dan pindah ke SMP terbaik di Surabaya. Anta adalah penjahat perang bagi SMP ku, tapi aku biasa saja sebenarnya.

Oh iya, entahlah, Kawan, Anta ini sering kali melakukan hal-hal aneh dan itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Berbeda dengan tingkah aneh Ivan yang kadang dibuat-buat, anomali Anta ini lebih naif. Jadi sepertinya dia tidak sadar jika yang dilakukannya itu tidak perlu dan aneh. Dan ketika teman-teman kelasku tertawa karena tingkahnya, dia selalu kebingungan apa sebenarnya yang salah dari dirinya. Ketika sudah dijelaskan, maka responnya hanya,

"Oo.."

dengan wajah yang innocent. Selalu saja seperti itu. Berulang-ulang. Selama tiga tahun. "Oo.." nya itu sangat khas, nadanya agak meninggi pada "o" bagian terkahir yang mengalami fade-out. Mungkin teman kelasku akan tertawa terbahak-bahak jika membaca ini sambil membayangkan Anta mengucapkan "Oo.." itu setelah melakukan perbuatan anomali yang tak normal.

Karena sudah lengkap ku ceritakan kedua temanku yang tersisa, maka kali ini akan ku bicarakan posisi tiap pemain. Mungkin karena kemampuan mereka termasuk biasa saja diantara kami, maka Anta dan Rio selalu bergantian mengambil posisi belakang, walaupun biasanya Anta yang lebih sering bermain. Anta yang merupakan penggemar The Reds Devil, sering kali mengingatkanku pada Phil Jones ketika ia bermain. Karena wajahnya agak berekspresi aneh ketika bermain, persis seperti Phil Jones. Sedangkan Rio adalah penggemar Chelsea.

Cahyo, arek lapangan asli, gesit dan memiliki skill individu paling bagus diantara kami biasanya di sisi kiri. Sering kali maju mundur membantu penyerangan dan membantu Anta dalam bertahan. Itu tak masalah bagi Cahyo yang berstamina bagus. Sering kali saat menyerang dari sisi kiri lalu ia memotong ke tengah, melewati 1-2 pemain dan melepaskan tendangan kaki kanan. Tipikal seorang inverted winger. Namun, alih-alih seperti Cristiano Ronaldo yang berposisi sama dan mengandalkan kekuatan dan kecepatan, Cahyo bermain lebih seperti Messi yang mengandalkan kegesitan dan skill individu yang menawan. Dan memang pada kenyataannya dia adalah penggemar Blaugrana.

Ivan biasanya di tengah, lalu "melipir" ke kanan. Sama seperti Cahyo, Ivan juga penggemar Blaugrana. Namun, cara bermain Ivan lebih seperti Xavi yang mengandalkan operan pendek antar pemain. Sering kali ia sedikit bergaya dengan cara mengoper dengan tumit. Dan tak jarang pula ia membawa keanehan yang ada padanya dalam permainan.

Contohnya saja saat ia menutup pergerakan lawan. Dia berlari kencang menuju lawan yang membawa bola lalu berhenti di depannya tiba-tiba dan berteriak,

"Whoi! Whoi!"

Sangat keras sekali. Dan sangat tidak penting sekali. Niatnya sih bagus, mengagetkan lawan dan membuat panik, lalu dapat merebut bola dengan mudah. Tapi alih-alih lawan kaget dan panik, si lawan masih bisa saja melewati Ivan dengan mudah. Atau jika tidak, ia berlari sambil menghujam kakinya ke lapangan membuat kegaduhan seperti kaki gajah yang menggetarkan tanah.

Aku heran waktu ia melakukan itu. Pertama, apa yang sedang ia lakukan? Apakah Ivan mau merusak lapangan atau mau "menyikat" kaki lawan? Kedua, apakah kakinya tidak sakit melakukan itu? Atau jangan-jangan kakinya telah diberi gen kaki gajah? Aku tidak pernah tahu, tapi yang jelas Ivan hanya sekali-dua kali saja melakukan gerakan kaki gajah itu.

Ada lagi tingkahnya yang aneh saat bermain. Tak jarang pula saat menggocek bola ia berteriak-teriak,

"Eit, cia, ciaa."

Ini main bola apa pencak silat coba? Sudahlah, biarlah Ivan seperti itu. Walaupun setahuku tak pernah Xavi saat bermain teriak-teriak,

"Whoi! Cia, eit, cia, ciaa."

Mungkin aku berlebihan membandingkannya dengan Xavi. Namun, biarlah seperti itu.

Di depan, ujung tombak, ada Made yang merupakan seorang Madridista. Dengan posturnya yang tinggi besar, maka tak sulit baginya menjadi target man tim kami. Tak jarang pula Made mencetak gol-gol yang tidak masuk akal layaknya Ibrahimovic. Pernah kuingat Made mencetak gol dengan punggungnya, sesuatu yang luar biasa bukan?

Yang terakhir tentu saja aku. Karena kemampuanku tak lebih baik dari Cahyo, ataupun tidak sebagus gocekan bolanya Ivan, juga tak segarang Made di depan gawang, dan juga hanya satu slot tersisa, maka jadilah aku sebagai....kiper.

Aku cukup menghindari posisi ini sebenarnya. Mengapa? Jelas sekali, kiper jarang sekali dapat bola. Sekali dapat bola itupun paling-paling karena tendangan dari lawan. Belum lagi jika tendangannya itu keras. Bisa sakit kan tangan ataupun badan ini jika kena bolanya. Belum lagi jika tendangan yang keras itu kena muka. Bisa bonyok kan nih muka. Memang aku ndak ganteng amat, tapi setidaknya aku juga ndak ingin tambah jelek.

Dan yah, seharusnya aku bisa bermain, aku bisa bermain paling tidak di posisi belakang menggantikan posisi Anta. Namun, lagi-lagi, demi menjaga keseimbangan tim, maka keamanan gawang sepertinya lebih cocok jika aku yang menjadi kiper dari pada Anta ataupun Rio yang menjadi kiper. Maka inilah aku, seorang kiper.

Maka, Kawan-ku, dari semua penjabaran itu, inilah biasanya cara kami bermain. Variasi serangan pertama kami adalah aku melempar bola pendek saja ke Cahyo yang berada di belakang. Lalu ia bawa ke sisi kiri, setelah itu dia memotong ke tengah. Saat di tengah, Cahyo bisa menendang sendiri atau mengoper ke Ivan yang di tengah. Jika dioper ke Ivan, biasanya Made berada di sisi agak kanan. Menunggu antara Ivan menendang langsung atau mengoper kepadanya untuk diselesaikan. Sedangkan Anta di belakang.

Variasi kedua adalah aku mengoper sedikit ke tengah langsung pada Ivan. Ivan antara mengopernya ke Cahyo atau melipir ke sisi kanan lapangan. Jika dia memilih untuk menyisir sisi lapangan, maka bentuk akhirnya adalah berupa crossing yang telah siap ditunggu Made, atau umpan tarik yang di mana Cahyo bergerak ke tengah. Sedangkan Anta masih di belakang.

Variasi ketiga adalah aku langsung melempar bola jauh ke depan yang telah di tunggu Made, atau terkadang Cahyo yang melakukan overlap. Walaupun aku tak suka variasi ini karena terkesan brutal dan mengandalkan untung-untungan, tapi sesekali kami pernah mencoba variasi ini dan berbuah satu-dua gol saja selama tiga tahun. Sedangkan Anta, lagi-lagi, masih berada di belakang.

Tentu jika aku menjadi Anta, maka aku tak sabar untuk terus di belakang. Begitu pula Anta. Tak jarang dia meninggalkan posnya. Dan tak jarang pula aku memanggilnya untuk kembali. Biasanya aku berteriak seperti ini,

“Taa!! Anttaaa!!!”

Saat dia menoleh padaku aku memberikan isyarat angka satu yang kuletakkan jauh di depan lalu menggerakkannya mendekati dada. Memberi isyarat padanya untuk mundur. Tentu dengan raut muka serius, yah setidaknya aku terlihat keren saat itu. Atau kalau tidak, saat kami diserang dari sisi kanan, aku berteriak pada Cahyo,

“Yookk yokk!! Kiri yookk!”

Sambil menunjuk pemain yang berdiri bebas di sebelah kiri pertahanan. Dengan muka serius pula aku melakukan itu. Setidaknya itu cukup keren bagiku, cukup kerenlah seperti David de Gea, hehehe.

Kiper sebenarnya bukanlah posisi yang asing bagiku, karena dulu waktu SD aku pernah ikut SSB dan menjadi kiper. Tapi waktu ikut SSB itupun aku belum pernah berlatih menjadi kiper, masih terlalu kecil. Tapi bagaimanapun juga, walau tak asing dengan posisi kiper, aku lebih suka bermain.

Aku sangat suka bermain di tengah. Sangat jelas bagi kalian bahwa pemain tengah favoritku adalah Frank Lampard. Tapi tak secuilpun aku punya kemampuan tendangan geledek nan akurat seperti Lampard. Dan aku juga sedikit berbeda dengan gaya bermain Lampard yang lebih banyak menyerang dari second line, menunggu bola muntah lalu menyambarnya. Walau tak sedikit dari pergerakan Lampard yang aku tiru saat bermain, aku lebih suka di tengah menunggu serangan lawan, memotong umpan lawan, lalu mengalirkannya membangun serangan ke depan. Seperti Andrea Pirlo yang berposisi deep-lying playmaker. Aku sendiri juga sedikit kurang paham mengapa aku cukup sering dapat menebak aliran bola lawan.

Namun aku juga tidak sepenuhnya seperti Pirlo yang bermain sangat dalam sebagai seorang gelandang, karena aku senang berlari. Mengejar bola dari satu sisi lapangan ke sisi lapangan yang lain. Dan aku menyadari bahwa aku cukup cepat. Oleh karena itu, tak jarang bola yang ku dapat aku giring ke sisi lapangan. Beradu sprint dengan lawan menyusuri sisi lapangan. Karena aku lebih nyaman berada di sisi kanan dan sering pula ku bawa bola ke sisi kanan, maka aku adalah tipikal conservative winger seperti David Beckham. Mencetak gol bukanlah visi utama ku dari sisi kanan, melainkan mengoperkannya ke tengah dan membiarkan striker yang menyelesaikan.

Tapi dari pada kesemua itu, aku lebih nyaman lagi jika mendapat bola di tengah lalu menggiringnya sedikit ke depan, lalu aku memutuskan mengoper ke sayap atau langsung umpan terobosan ke depan. Maka sejatinya aku juga senang sebagai playmaker layaknya Mesut Oezil, memberikan banyak assist, walaupun umpan ku tidak se-magic Oezil.

Jadi intinya, aku senang berada di tengah. Aku suka mencetak gol, namun aku lebih suka memberikan assist atau key pass, bagiku gol hanyalah bonus. Di mana pun itu, asal di tengah aku suka. Oleh karena itu sepertinya aku lebih nyaman disebut sebagai box-to-box midfielder. Kurang lebih seperti Michael Carrick, hanya saja lebih senang sedikit menyerang, haha.

Tapi, Kawan, ada satu hal yang harus kau pahami. Aku tak sehebat pemain-pemain yang telah ku sebutkan. Tidak Frank Lampard, tidak Andre Pirlo, tidak David Beckham, tidak Mesut Oezil, ataupun Michael Carrick. Itu hanya perumpamaan saja agar memudahkan kalian memahami istilah-istilah yang ku sebutkan dan juga memudahkan penggambaran caraku bermain. Buktinya, aku hanyalah seorang kiper, Kawan. Haha. Dan aku juga tidak lebih hebat dari pada teman-temanku yang telah ku sebutkan. Biarlah, biarlah seperti itu.


******

Hal yang paling mendasar untuk menjadi kiper adalah percaya diri. Hal mendasar berikutnya adalah ketenangan. Oleh karena itulah mengapa aku membiarkan ini semua. Kuncinya pada ketenangan. Menurutku, orang yang keren hebat luar biasa tak kepalang tanggung adalah orang yang tenang dan mampu menyimpan emosinya. Berulang-ulang aku belajar akan pengendalian emosi ini, dan berkali-kali pula aku gagal. Sedangkan kiper, dituntut untuk memiliki ketenangan itu. Oleh karena itu menjadi kiper juga merupakan sebuah pelatihan tersendiri bagiku. Walaupun tetap saja, aku ingin bermain.

Kiper favorit pertama ku adalah Oliver Khan. Seorang legenda hidup, mantan kiper utama Die Mannschaft dan Bayern Munchen yang berwajah sangar seperi Gattuso. Khan tampil menawan pada sepanjang karirnya hingga pensiun, walaupun pada final piala dunia 2002 Khan tampil anti-klimaks saat melawan Brazil. Namun saat aku menjadi kiper, Khan bukanlah salah satu panutanku walaupun aku masih menaruh respek padanya. Itu karena Khan tak jarang mengumbar emosinya saat bermain. Khan tercoret.

Berikutnya tentu ada Gianluigi Buffon. Walaupun termasuk kiper yang tenang, entah mengapa aku tak memfavoritkannya. Tanggapanku akan adanya Buffon adalah,

“Oh Buffon, iya keren-keren.”

Hanya sebatas itu. Tak lebih. Entah mengapa.

Ada pula Iker Casillas. Dia juga merupakan kiper yang tenang dan jarang mengumbar emosi. Namun postur tubuhnya yang tak terlalu ideal untuk seorang penjaga gawang adalah salah satu alasan utamaku untuk tidak memfavoritkannya.

Beda cerita dengan Petr Cech. Kiper yang tenang, jarang mengumbar emosi, postur tinggi, dan memakai helm rugby! Petr Cech merupakan salah satu kiper panutanku saat aku menjadi kiper. Mungkin itu dikarenakan faktor Chelsea yang merupakan klub Petr Cech sehingga ia menjadi favoritku, hehe. Tapi bagaimanapun juga, tak ada yang menyangkal bahwa Petr Cech salah satu kiper terbaik dunia.

Untuk di masa yang akan datang, aku melihat ada beberapa nama yang sangat menjajikan dan juga memiliki pengendalian emosi yang luar biasa di lapangan. Manuel Neuer, David de Gea, dan Thibaut Courtois. Manuel Neuer merupakan yang paling matang dari pada kedua nama terkahir, namun kedua nama terkahir lebih muda dan tidak bisa dianggap sepele. Walaupun terkadang masih terlihat akan emosi mereka berdua, itu bukan merupakan faktor pengendalian yang kurang, namun lebih ke arah faktor usia yang masih muda. Semakin bertambahnya umur, tentu akan semakin keren pengendalian emosi mereka. Maaf saja Joe Hart tidak termasuk, karena menurutku ia sedikit emosional.

Menilik jauh kebelakang, ada seorang kiper yang disebut sebagai bapak kiper modern masa kini. Ialah Lev Yashin. Kiper tim nasional Uni Soviet yang berjuluk The Black Spider. Merupakan satu-satunya kiper yang pernah meraih penghargaan Baloon d’Or. Jika saja lebih banyak video tentang penampilannya di lapangan dan tidak berupa film hitam-putih, mungkin aku akan menempatkannya sebagai kiper favoritku hingga saat ini.