21 Jan 2014

Goolll! : Lev Yashin

Kelasku, waktu SMA dulu, cowoknya hanya sebelas dari dua puluh sembilan homo sapiens yang telah berevolusi. Sebuah kesebelasan. Pas untuk bermain sepak bola. Namun pada faktanya, hanya delapan orang dari kami yang tertarik dengan sepak bola. Dan hanya 5-6 orang yang tertarik untuk bermain sepak bola.

Untungnya, karena di sekolah ku tidak ada lapangan sepak bola, maka futsal merupakan alternatif bagi para civitas academica cowok sekolahku. Sehingga keenam cowok di kelasku ini merupakan jumlah yang ideal untuk sebuah tim futsal plus satu cadangan. Dan juga, keenam cowok ini pula yang biasanya menjadi delegasi tim kelasku saat ada pertandingan futsal antar kelas.

******

Keenam orang ini adalah Cahyo, Ivan, Made, Anta, Rio, dan aku. Sebenarnya ada pemain ketujuh, yaitu Dimbo. Namun seingatku,Dimbo, dalam tiga tahun kita sekelas, hanya 1-2 kali saja pernah bermain dalam tim futsal kelas kami dalam pertandingan resmi antar kelas. Itupun dikarenakan beberapa pemain yang "inti" itu tidak bisa ikut bermain.

Tentu kalian tak lupa akan Ivan, Made, dan Rio yang telah ku ceritakan di Made by The 90's. Ivan dengan kepala berbentuk kacang oak-nya, Made dengan tubuh atletisnya, dan Rio dengan perpaduan kepintaran dan jiwa seninya. Oleh karena itu tak perlu ku ceritakan tentang mereka lagi, tapi sepertinya aku perlu sedikit mendeskripsikan tentang Cahyo dan Anta.

Dwi Cahya S, Seperti yang telah ku ceritakan sedikit di Made by The 90's, merupakan cowok yang flamboyant. Cahyo, panggilannya, merupakan arek olahraga asli. Arek lapangan. Jika pagi hari tidak ada di kelas maka cari ia di lapangan. Jika tidak ada di lapangan, maka cari ia di kantin. Sungguh tipikal anak SMA yang agak "mbleyer".

Entah mengapa ia senang sekali potong cepak, model tentara. Dan memang pada kenyataannya ia memiliki stamina yang kuat saat olahraga. Ia juga merupakan tim inti basket SMA. Cahyo juga lucu dan menyenangkan. Intinya Cahyo adalah arek gaul masa kini.

Erdianta Valenski. Panggilannya Anta. Anaknya putih tinggi dan sedikit Cina. Putih, cowok. Cowok, putih. Jelas, anak rumahan. Berbeda 180o dengan Cahyo.

Anta sebenarnya adalah temanku SMP. Bahkan kelas kami bersebelahan. Namun, waktu itu Anta berkhianat, keluar dari SMP ku dan pindah ke SMP terbaik di Surabaya. Anta adalah penjahat perang bagi SMP ku, tapi aku biasa saja sebenarnya.

Oh iya, entahlah, Kawan, Anta ini sering kali melakukan hal-hal aneh dan itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Berbeda dengan tingkah aneh Ivan yang kadang dibuat-buat, anomali Anta ini lebih naif. Jadi sepertinya dia tidak sadar jika yang dilakukannya itu tidak perlu dan aneh. Dan ketika teman-teman kelasku tertawa karena tingkahnya, dia selalu kebingungan apa sebenarnya yang salah dari dirinya. Ketika sudah dijelaskan, maka responnya hanya,

"Oo.."

dengan wajah yang innocent. Selalu saja seperti itu. Berulang-ulang. Selama tiga tahun. "Oo.." nya itu sangat khas, nadanya agak meninggi pada "o" bagian terkahir yang mengalami fade-out. Mungkin teman kelasku akan tertawa terbahak-bahak jika membaca ini sambil membayangkan Anta mengucapkan "Oo.." itu setelah melakukan perbuatan anomali yang tak normal.

Karena sudah lengkap ku ceritakan kedua temanku yang tersisa, maka kali ini akan ku bicarakan posisi tiap pemain. Mungkin karena kemampuan mereka termasuk biasa saja diantara kami, maka Anta dan Rio selalu bergantian mengambil posisi belakang, walaupun biasanya Anta yang lebih sering bermain. Anta yang merupakan penggemar The Reds Devil, sering kali mengingatkanku pada Phil Jones ketika ia bermain. Karena wajahnya agak berekspresi aneh ketika bermain, persis seperti Phil Jones. Sedangkan Rio adalah penggemar Chelsea.

Cahyo, arek lapangan asli, gesit dan memiliki skill individu paling bagus diantara kami biasanya di sisi kiri. Sering kali maju mundur membantu penyerangan dan membantu Anta dalam bertahan. Itu tak masalah bagi Cahyo yang berstamina bagus. Sering kali saat menyerang dari sisi kiri lalu ia memotong ke tengah, melewati 1-2 pemain dan melepaskan tendangan kaki kanan. Tipikal seorang inverted winger. Namun, alih-alih seperti Cristiano Ronaldo yang berposisi sama dan mengandalkan kekuatan dan kecepatan, Cahyo bermain lebih seperti Messi yang mengandalkan kegesitan dan skill individu yang menawan. Dan memang pada kenyataannya dia adalah penggemar Blaugrana.

Ivan biasanya di tengah, lalu "melipir" ke kanan. Sama seperti Cahyo, Ivan juga penggemar Blaugrana. Namun, cara bermain Ivan lebih seperti Xavi yang mengandalkan operan pendek antar pemain. Sering kali ia sedikit bergaya dengan cara mengoper dengan tumit. Dan tak jarang pula ia membawa keanehan yang ada padanya dalam permainan.

Contohnya saja saat ia menutup pergerakan lawan. Dia berlari kencang menuju lawan yang membawa bola lalu berhenti di depannya tiba-tiba dan berteriak,

"Whoi! Whoi!"

Sangat keras sekali. Dan sangat tidak penting sekali. Niatnya sih bagus, mengagetkan lawan dan membuat panik, lalu dapat merebut bola dengan mudah. Tapi alih-alih lawan kaget dan panik, si lawan masih bisa saja melewati Ivan dengan mudah. Atau jika tidak, ia berlari sambil menghujam kakinya ke lapangan membuat kegaduhan seperti kaki gajah yang menggetarkan tanah.

Aku heran waktu ia melakukan itu. Pertama, apa yang sedang ia lakukan? Apakah Ivan mau merusak lapangan atau mau "menyikat" kaki lawan? Kedua, apakah kakinya tidak sakit melakukan itu? Atau jangan-jangan kakinya telah diberi gen kaki gajah? Aku tidak pernah tahu, tapi yang jelas Ivan hanya sekali-dua kali saja melakukan gerakan kaki gajah itu.

Ada lagi tingkahnya yang aneh saat bermain. Tak jarang pula saat menggocek bola ia berteriak-teriak,

"Eit, cia, ciaa."

Ini main bola apa pencak silat coba? Sudahlah, biarlah Ivan seperti itu. Walaupun setahuku tak pernah Xavi saat bermain teriak-teriak,

"Whoi! Cia, eit, cia, ciaa."

Mungkin aku berlebihan membandingkannya dengan Xavi. Namun, biarlah seperti itu.

Di depan, ujung tombak, ada Made yang merupakan seorang Madridista. Dengan posturnya yang tinggi besar, maka tak sulit baginya menjadi target man tim kami. Tak jarang pula Made mencetak gol-gol yang tidak masuk akal layaknya Ibrahimovic. Pernah kuingat Made mencetak gol dengan punggungnya, sesuatu yang luar biasa bukan?

Yang terakhir tentu saja aku. Karena kemampuanku tak lebih baik dari Cahyo, ataupun tidak sebagus gocekan bolanya Ivan, juga tak segarang Made di depan gawang, dan juga hanya satu slot tersisa, maka jadilah aku sebagai....kiper.

Aku cukup menghindari posisi ini sebenarnya. Mengapa? Jelas sekali, kiper jarang sekali dapat bola. Sekali dapat bola itupun paling-paling karena tendangan dari lawan. Belum lagi jika tendangannya itu keras. Bisa sakit kan tangan ataupun badan ini jika kena bolanya. Belum lagi jika tendangan yang keras itu kena muka. Bisa bonyok kan nih muka. Memang aku ndak ganteng amat, tapi setidaknya aku juga ndak ingin tambah jelek.

Dan yah, seharusnya aku bisa bermain, aku bisa bermain paling tidak di posisi belakang menggantikan posisi Anta. Namun, lagi-lagi, demi menjaga keseimbangan tim, maka keamanan gawang sepertinya lebih cocok jika aku yang menjadi kiper dari pada Anta ataupun Rio yang menjadi kiper. Maka inilah aku, seorang kiper.

Maka, Kawan-ku, dari semua penjabaran itu, inilah biasanya cara kami bermain. Variasi serangan pertama kami adalah aku melempar bola pendek saja ke Cahyo yang berada di belakang. Lalu ia bawa ke sisi kiri, setelah itu dia memotong ke tengah. Saat di tengah, Cahyo bisa menendang sendiri atau mengoper ke Ivan yang di tengah. Jika dioper ke Ivan, biasanya Made berada di sisi agak kanan. Menunggu antara Ivan menendang langsung atau mengoper kepadanya untuk diselesaikan. Sedangkan Anta di belakang.

Variasi kedua adalah aku mengoper sedikit ke tengah langsung pada Ivan. Ivan antara mengopernya ke Cahyo atau melipir ke sisi kanan lapangan. Jika dia memilih untuk menyisir sisi lapangan, maka bentuk akhirnya adalah berupa crossing yang telah siap ditunggu Made, atau umpan tarik yang di mana Cahyo bergerak ke tengah. Sedangkan Anta masih di belakang.

Variasi ketiga adalah aku langsung melempar bola jauh ke depan yang telah di tunggu Made, atau terkadang Cahyo yang melakukan overlap. Walaupun aku tak suka variasi ini karena terkesan brutal dan mengandalkan untung-untungan, tapi sesekali kami pernah mencoba variasi ini dan berbuah satu-dua gol saja selama tiga tahun. Sedangkan Anta, lagi-lagi, masih berada di belakang.

Tentu jika aku menjadi Anta, maka aku tak sabar untuk terus di belakang. Begitu pula Anta. Tak jarang dia meninggalkan posnya. Dan tak jarang pula aku memanggilnya untuk kembali. Biasanya aku berteriak seperti ini,

“Taa!! Anttaaa!!!”

Saat dia menoleh padaku aku memberikan isyarat angka satu yang kuletakkan jauh di depan lalu menggerakkannya mendekati dada. Memberi isyarat padanya untuk mundur. Tentu dengan raut muka serius, yah setidaknya aku terlihat keren saat itu. Atau kalau tidak, saat kami diserang dari sisi kanan, aku berteriak pada Cahyo,

“Yookk yokk!! Kiri yookk!”

Sambil menunjuk pemain yang berdiri bebas di sebelah kiri pertahanan. Dengan muka serius pula aku melakukan itu. Setidaknya itu cukup keren bagiku, cukup kerenlah seperti David de Gea, hehehe.

Kiper sebenarnya bukanlah posisi yang asing bagiku, karena dulu waktu SD aku pernah ikut SSB dan menjadi kiper. Tapi waktu ikut SSB itupun aku belum pernah berlatih menjadi kiper, masih terlalu kecil. Tapi bagaimanapun juga, walau tak asing dengan posisi kiper, aku lebih suka bermain.

Aku sangat suka bermain di tengah. Sangat jelas bagi kalian bahwa pemain tengah favoritku adalah Frank Lampard. Tapi tak secuilpun aku punya kemampuan tendangan geledek nan akurat seperti Lampard. Dan aku juga sedikit berbeda dengan gaya bermain Lampard yang lebih banyak menyerang dari second line, menunggu bola muntah lalu menyambarnya. Walau tak sedikit dari pergerakan Lampard yang aku tiru saat bermain, aku lebih suka di tengah menunggu serangan lawan, memotong umpan lawan, lalu mengalirkannya membangun serangan ke depan. Seperti Andrea Pirlo yang berposisi deep-lying playmaker. Aku sendiri juga sedikit kurang paham mengapa aku cukup sering dapat menebak aliran bola lawan.

Namun aku juga tidak sepenuhnya seperti Pirlo yang bermain sangat dalam sebagai seorang gelandang, karena aku senang berlari. Mengejar bola dari satu sisi lapangan ke sisi lapangan yang lain. Dan aku menyadari bahwa aku cukup cepat. Oleh karena itu, tak jarang bola yang ku dapat aku giring ke sisi lapangan. Beradu sprint dengan lawan menyusuri sisi lapangan. Karena aku lebih nyaman berada di sisi kanan dan sering pula ku bawa bola ke sisi kanan, maka aku adalah tipikal conservative winger seperti David Beckham. Mencetak gol bukanlah visi utama ku dari sisi kanan, melainkan mengoperkannya ke tengah dan membiarkan striker yang menyelesaikan.

Tapi dari pada kesemua itu, aku lebih nyaman lagi jika mendapat bola di tengah lalu menggiringnya sedikit ke depan, lalu aku memutuskan mengoper ke sayap atau langsung umpan terobosan ke depan. Maka sejatinya aku juga senang sebagai playmaker layaknya Mesut Oezil, memberikan banyak assist, walaupun umpan ku tidak se-magic Oezil.

Jadi intinya, aku senang berada di tengah. Aku suka mencetak gol, namun aku lebih suka memberikan assist atau key pass, bagiku gol hanyalah bonus. Di mana pun itu, asal di tengah aku suka. Oleh karena itu sepertinya aku lebih nyaman disebut sebagai box-to-box midfielder. Kurang lebih seperti Michael Carrick, hanya saja lebih senang sedikit menyerang, haha.

Tapi, Kawan, ada satu hal yang harus kau pahami. Aku tak sehebat pemain-pemain yang telah ku sebutkan. Tidak Frank Lampard, tidak Andre Pirlo, tidak David Beckham, tidak Mesut Oezil, ataupun Michael Carrick. Itu hanya perumpamaan saja agar memudahkan kalian memahami istilah-istilah yang ku sebutkan dan juga memudahkan penggambaran caraku bermain. Buktinya, aku hanyalah seorang kiper, Kawan. Haha. Dan aku juga tidak lebih hebat dari pada teman-temanku yang telah ku sebutkan. Biarlah, biarlah seperti itu.


******

Hal yang paling mendasar untuk menjadi kiper adalah percaya diri. Hal mendasar berikutnya adalah ketenangan. Oleh karena itulah mengapa aku membiarkan ini semua. Kuncinya pada ketenangan. Menurutku, orang yang keren hebat luar biasa tak kepalang tanggung adalah orang yang tenang dan mampu menyimpan emosinya. Berulang-ulang aku belajar akan pengendalian emosi ini, dan berkali-kali pula aku gagal. Sedangkan kiper, dituntut untuk memiliki ketenangan itu. Oleh karena itu menjadi kiper juga merupakan sebuah pelatihan tersendiri bagiku. Walaupun tetap saja, aku ingin bermain.

Kiper favorit pertama ku adalah Oliver Khan. Seorang legenda hidup, mantan kiper utama Die Mannschaft dan Bayern Munchen yang berwajah sangar seperi Gattuso. Khan tampil menawan pada sepanjang karirnya hingga pensiun, walaupun pada final piala dunia 2002 Khan tampil anti-klimaks saat melawan Brazil. Namun saat aku menjadi kiper, Khan bukanlah salah satu panutanku walaupun aku masih menaruh respek padanya. Itu karena Khan tak jarang mengumbar emosinya saat bermain. Khan tercoret.

Berikutnya tentu ada Gianluigi Buffon. Walaupun termasuk kiper yang tenang, entah mengapa aku tak memfavoritkannya. Tanggapanku akan adanya Buffon adalah,

“Oh Buffon, iya keren-keren.”

Hanya sebatas itu. Tak lebih. Entah mengapa.

Ada pula Iker Casillas. Dia juga merupakan kiper yang tenang dan jarang mengumbar emosi. Namun postur tubuhnya yang tak terlalu ideal untuk seorang penjaga gawang adalah salah satu alasan utamaku untuk tidak memfavoritkannya.

Beda cerita dengan Petr Cech. Kiper yang tenang, jarang mengumbar emosi, postur tinggi, dan memakai helm rugby! Petr Cech merupakan salah satu kiper panutanku saat aku menjadi kiper. Mungkin itu dikarenakan faktor Chelsea yang merupakan klub Petr Cech sehingga ia menjadi favoritku, hehe. Tapi bagaimanapun juga, tak ada yang menyangkal bahwa Petr Cech salah satu kiper terbaik dunia.

Untuk di masa yang akan datang, aku melihat ada beberapa nama yang sangat menjajikan dan juga memiliki pengendalian emosi yang luar biasa di lapangan. Manuel Neuer, David de Gea, dan Thibaut Courtois. Manuel Neuer merupakan yang paling matang dari pada kedua nama terkahir, namun kedua nama terkahir lebih muda dan tidak bisa dianggap sepele. Walaupun terkadang masih terlihat akan emosi mereka berdua, itu bukan merupakan faktor pengendalian yang kurang, namun lebih ke arah faktor usia yang masih muda. Semakin bertambahnya umur, tentu akan semakin keren pengendalian emosi mereka. Maaf saja Joe Hart tidak termasuk, karena menurutku ia sedikit emosional.

Menilik jauh kebelakang, ada seorang kiper yang disebut sebagai bapak kiper modern masa kini. Ialah Lev Yashin. Kiper tim nasional Uni Soviet yang berjuluk The Black Spider. Merupakan satu-satunya kiper yang pernah meraih penghargaan Baloon d’Or. Jika saja lebih banyak video tentang penampilannya di lapangan dan tidak berupa film hitam-putih, mungkin aku akan menempatkannya sebagai kiper favoritku hingga saat ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar