13 Nov 2013

Bahasa Daerah


          Tidak bisa dipungkiri aku memiliki ketertarikan pada dunia tulis-menulis dan baca-membaca. Dan oleh karena itu pula aku sempat beberapa kali membuat banyak cerita. Banyak pula cerita-cerita ku ini diambil dari pengalaman pribadi, namun juga tidak sedikit yang hanya hasil pemikiran dan imajinasi.


          Dari beberapa cerita itu, aku ingin memposting di blog ku ini salah satunya. Ini cerita berjudul Bahasa Daerah. Waktu itu cerita ini aku buat waktu SMP dan merupakan pengalaman pribadi ku saat SMP. Tidak ada secuil pun bagian dari cerita dibawah ini yang aku edit lagi. Jadi cerita di bawah ini nanti adalah benar-benar asli saat dulu aku menulisnya.

          Oke, tunggu apalagi, silahkan, Kawan : )

 


Bahasa Daerah



                Pengalaman bisa membuat seseorang terpuruk, sepi, dan tenggelam di dalamnya. Tapi pengalaman juga bisa membuat seseorang senang, bahagia, bahkan melambung di dalamnya. Tapi ada juga pengalaman yang tidak mempengaruhi kinerja seseorang. Contohnya saja pengalamanku.

          Ketika aku kecil, sekitar umur 4 tahun dimana pada usia itu adalah usia yang paling menyenangkan bagi semua orang. Soalnya kalau kita nangis pasti masih diperhatiin. Orang akan bilang, “Nak, kasihan…..kenapa kamu?”  Tapi kalau sudah besar pasti orang bilang, “Nak, kamu gak pernah diperhatiin ma ortu-mu ya?”

Kembali ketika aku kecil, saat itu aku baru bangun tidur dan kulihat jam dimana seharusnya ibuku belum berangkat bekerja. Aku mencari di dalam rumah dan tidak kutemukan ibuku. Lalu aku berlari ke luar rumah dan kutemukan ibuku berjalan menjauh untuk berangkat bekerja. Aku langsung berlari mengejar ibuku sambil berteriak-teriak memanggil ibuku. Namun ibuku tak mendengar suaraku. Tiba-tiba saja, saat diriku berlari, aku miring-miring ke kiri dan seperti yang aku perkirakan…. aku masuk selokan. “BLUNG!”  begitulah bunyinya…..dan aku berkata, “Bagus….” Dan aku kembali ke rumah. Tapi anehnya aku tidak menangis. Nah, itulah mengapa pengalamanku itu tidak memengaruhi kinerja diriku. Atau mungkin pengalamanku itu telah membuat sesuatu dalam diriku salah/error. Buktinya aku tidak menangis.

Dari pengalaman itu, aku dapat menyimpulkan bahwa pelajaran yang paling berharga adalah pengalaman. Dan pelajaran dari pengalaman itu adalah, “Sebaiknya jika kalian berlari, lalu tiba-tiba miring-miring, sebaiknya anda berhenti. Jika tidak, dapat menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.”

Bertahun-tahun setelah kejadian itu, aku mulai mengikuti program pemerintah yang bernama “Wajib Belajar 9 Tahun”. Atau jika aku permudah istilahnya, aku mulai masuk sekolah. Nah, setiap sekolah pasti mempunyai mata pelajaran yang pasti menurut sekolah akan berguna bagi masa depan murid-muridnya. Dan selama aku mengikuti program pemerintah itu, dan dimasukkan berbagai macam mata pelajaran, aku mulai menyadari sesuatu jika dihubungkan dengan pengalamanku bertahun-tahun yang lalu. Aku menyadari bahwa,

“Jika pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga, maka Bahasa Daerah adalah pelajaran yang paling menyebalkan.”

Ini benar-benar membuatku dilema sebernanya. Bagaimana tidak, Ayahku adalah seorang Jawa tulen. Maka seharusnya, kemampuan bahasa Jawa atau daerahku tidak sebatas “asal tidak remidi”. Tapi itulah mentalitasku saat diriku berjumpa dengan pelajaran bahasa daerah. Tapi mau gimana lagi? Toh kalau aku bisa, mungkin mentoknya cuma “inggih”, “mboten”, “mboten napa-napa”, atau “kula mboten ngertos”. Oke, aku akui, banyak kata “mboten” di dalamnya. Tapi sekali lagi, mau gimana lagi?

Nah, dalam karirku sepanjang mengikuti program pemerintah “Wajib Belajar 9 Tahun” ini, aku selalu mencari jalan agar “asal tidak remidi” untuk pelajaran bahasa daerah. Nah, pengalaman yang paling menurutku lucu adalah ketika aku kelas 9 di mana saat itu ulangan pelajaran bahasa daerah. Untungnya, saat itu adalah ulangan harian. Jadi selain duduknya sebangku 2 orang, soalnya cuma 5, aku kedapatan tempat di belakang! Tapi ruginya, soal sebangku hampir sama tapi beda, dan ulangan harian itu semuanya uraian!

Ketika soal dituliskan di papan tulis, bukan di Balikpapan (soalnya kejauhan dari sekolahku) aku masih tenang. Soal pertama, ada a dan b. Yang a, aku bilang, “Gini doang?” ketika yang b, aku bilang, “Oi, nomer 1 b apa?” sambil celingak-celinguk kiri-kanan. Tapi yang namanya juga usaha, pasti dapat hasil. Tak penting hasilnya baik atau buruk yang penting….. “asal tidak remidi”

 Ketika soal nomer 2, aku bilang, “Bagus…” deja vu kata-kata ketika aku masuk selokan. Lalu aku celingak-celinguk kiri-kanan dan tidak satupun temanku yang tahu jawabannya. Lalu tanganku tanpa sengaja menyentuh buku paket bahasa daerah yang ada di mejaku. Aku teringat, aku sempat membacanya sebelum ulangan yang kejam ini menimpa diriku. Aku juga teringat, aku lupa memasukkan buku yang mengahadirkan harapan padaku itu ketika ulangan ini berlangsung. Dan aku juga masih sangat ingat, aku tersenyum saat menyadari itu.

Aku langsung membuka buku itu di atas meja! Bukan dewi yang katanya orang Yunani tersenyum memberikan keberuntungan yang tersenyum padaku, tapi Tuhan yang tersenyum padaku. Sehingga saat pertama kali aku buka buku pemberi harapan itu, aku langsung menemukan halaman yang ada jawaban untuk nomer 2 ulangan harian sialan itu! Dan aku langsung salin saja jawabannnya. Lalu kututup buku itu dengan tenang dan kumasaukkan buku itu ke tasku dengan tampang innocent.

Waktu itu mukaku seperti konglomerat yang menaburkan uang koin ke rakyat yang serba kekurangan. Dan aku langsung dengan muka bangga memberi tahu jawaban soal nomer 2 yang teman-temanku tanyakan. Oh, inikah perbedaan orang yang tahu dan tidak tahu? Pantas banyak orang ingin mendapatkan keingintahuan walaupu dengan segala cara.

Dan apakah kalian ingin tahu berapa nilai yang aku dapatkan dengan perbuatan diriku? 89! Seumur-umur diriku tak pernah mendapatkan nilai yang begitu tinggi untuk mata pelajaran bahasa daerah ini. Tapi jika dipikir-pikir lagi, seharusnya aku tidak melakukan perbuatan itu. Tapi tak apalah, toh nilainya juga 89! Hahahaha…



                                                                         Diambil dari kisah nyata penulis

By Limpat S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar