29 Nov 2013

Alhamdulillah!


Ini merupakan salah satu dilema yang pernah aku alami. Sebagai salah satu mahasiswa yang berasal dari kota asalnya sendiri, maka secara tidak langsung aku merupakan duta kota ku. Padahal, aku sendiri tidak tahu seluk beluk kota secara detail. Tapi mau tidak mau, di sinilah aku, secara tidak langsung, aku merupakan duta kota Surabaya.

Surabaya. Kota pelabuhan. Kota pahlawan. Jika temanku bilang Surabaya itu panas, ya aku benarkan. Atau Surabaya itu macet, ya aku benarkan. Atau Surabaya itu Dolly, ya aku benarkan. Walau sebenarnya aku salut dengan usaha pemerintah yang ingin menghapus image itu.

Namun, dari semua pernyataan dan pertanyaan teman-temanku tentang Surabaya, pertanyaan yang paling membuat aku kesal adalah,

"Kapan Surabaya hujan?"

Sangat menjengkelkan. Ini pertanyaan yang sangat tidak rasional untuk dilontarkan. Pertama, aku bukanlah pawang hujan atau dukun hujan. Kedua, aku bukan BMKG yang bisa tahu data-data kapan akan terjadi hujan. Ketiga, aku bukan scientist gila yang suka merubah awan menjadi hujan makanan. Tapi untungnya Surabaya akhir-akhir ini sering hujan, dan seketika itu juga pertanyaan itu hilang ditelan bumi.

Dan menjadi "duta" juga bukan perkara mudah. Paling tidak, minimal, harus memberikan kesan orang Surabaya itu baik. Hahaha, padahal...

Oke, karena harus memberikan kesan baik itulah, terjadi salah satu perbincangan paling tidak penting di dunia antara aku ketika bertemu dengan salah satu temanku yang kebetulan seorang cewek. Aku,

"Pulang ke kos? Naek apa?"
"Iya. Jalan kaki."
"Lho, motormu mana? Biasanya naek motor kan?"
"Iya ini motorku rusak tadi. Sulit di stater, ndak nyala."
"Oalah...nebeng ta?"
"Ndak jalan aja."
"Bener ta? Lumayan lho ndak capek."
"Iya bener."
"AlhamdulillaaaaAAHHHH!"

Alhamdullilah! Ya, aku jawab Alhamdulillah dengan nada yang meninggi dibagian akhir kata. Nah lho? Paham maksudku kan? Jadi, intinya aku senang temenku ndak nebeng. Dan rasa senangku itu aku ekspresikan dengan kata alhamdulillah itu tadi.

Dari awal memang pada waktu itu, aku lagi tidak berniat nebengin. Coba bayangin, kan harus muter-muter dikit dulu. Terus bensin gimana. Belum lagi nanti kalo dikira modus. Nah, bahaya kan? Justru alhamdulillah to kalo temenku itu ndak mau? Ndak harus repot, ndak harus dikira modus.

Sebenarnya, karena waktu itu aku harus buru-buru pulang, makanya waktu itu aku ndak niat nebengin. Tapi trus kenapa aku kok nawarin? Itu tidak lebih dari sekedar basa-basi. Kan kok sawangane ndak nawarin, kan ndak enak kan ya.

Dan nawarin tebengan ini juga tidak lepas dari peran "duta" sialan yang aku sandang. Karena "duta", maka paling tidak, sepeti yang aku katakan sebelumnya, harus keliatan baik. Nah, nawarin tebengan itu tadi setidaknya sudah mencerminkan "keliatan baik".

Paling tidak, aku sudah mencerminkan warga Surabaya yang "keliatan baik"

*****

"Eh, kamu punya nomornya si Aap?"
"Iya ada."
"Eh kirimin ke nomorku dong."
"Kenapa ndak kamu catet langsung aja?"
"Mati nih hapeku, kalo kamu kirim kan nanti masuk."
"Oh, oke. Nomormu berapa?"
"08xxxxxxxxxx."

Duh, ada lagi ya modus baru kayak gini. Luar biasa..

1 komentar: