4 Mar 2013

Kompilasi


Well, ini adalah kumpulan puisi ku yang lain. Kumpulan puisi ini, kali ini aku beri judul kompilasi. Kompilasi karena saya akan mengisinya dengan esay dan kumpulan puisi. Jadi gabungan gitu.

Sebelumnya, saya ingin memberitahu padamu bahwa untuk berikutnya, puisi-puisi ku akan saya jadikan dalam satu postingan. Jadi satu postingan berisi beberapa puisi. Bisa diibaratkan satu postingan merupakan satu album yang berisi beberapa lagu (beberapa puisi).  Jika sebelumnya atau berikutnya nanti ada satu postingan untuk satu puisi, anggap saja itu lagu (puisi) single. Hahaha. Mungkin saja, jika saya punya gitar maka saya akan lebih banyak menulis lagu daripada menulis puisi. Mungkin....oke, tapi terlepas dari semua itu, saya sama-sama senang dengan kedua aktivitas tersebut.

Okay, ada satu hal yang ingin ku sampaikan tentang pemikiranku kali ini. Jika Kawan perhatian, biasanya, dalam penciptaan suatu karya sastra selalu tak luput dari yang namanya bumbu asmara di dalamnya. Baik itu naskah drama, film, cerpen, puisi, dan karya-karya satra lain, bumbu asmara atau percintaan selalu menjadi primadona. Tak peduli pula genre yang ada dalam jenis karya sastra tersebut. Misalkan drama komedi, maka hampir selalu ada bumbu romansa dalam ceritanya. Atau film horor sekalipun, maka akan ada bumbu percintaan pada karakter yang ada dalam film tersebut.

Well, sebenarnya pandangan saya akan realita itu biasa-biasa saja. Justru saya malah setuju karena tak bisa dipungkiri, kekuatan bumbu romansa dalam suatu karya sastra sangat memikat para penyimaknya. Selain itu, saya setuju dengan bumbu tersebut karena akan meningkatkan suatu originalitas karya sastra tersebut dan bisa menjadi master piece hanya karena adanya bumbu tentang percintaan. Kan yang paling penting adalah bagaimana kita mengendalikan itu dalam kehidupan sehari-hari, jadi sah-sah saja menurutku bumbu tersebut hampr selalu ada.

Mungkin dikarenakan manusia ini diciptakan untuk berpasangan, maka saat ada bumbu mengenai romansa, walaupun hanya sedikit, maka siapapun akan berdiri telinganya dan akan menyimak karya sastra tersebut. Ya saya akui, hampir semuanya, karena ada juga sebagian manusia di muka bumi ini, ya sekian persenlah, itu biasa-biasa saja melihat bumbu-bumbu romansa seperti itu. Dan saya belum melakukan observasi mendalam mengapa sebagian orang tersebut bisa seperti itu.

Namun, dari sekian banyak bumbu percintaan yang ada, mulai dari cinta monyet, cinta pandangan pertama, cinlok, cinta romantis, cinta happy, dan lain sebagainya, cinta ironi dan cinta platonik (cinta dengan perasaan tidak menggebu-gebu) merupakan inspirasi utamaku. Mengapa begitu? Karena, cinta identik dengan sesuatu yang namanya rasa senang tanpa alasan yang jelas, maka cinta tersebut akan semakin kuat getaran yang dihasilkan jika ironi mengusik kehebatan cinta para tokoh yang ada dalam karya sastra. Salah satu contohnya bisa dilihat di (It's Too Late, Tania) hehe, promo.

But, it's sure. Bisa kau lihat betapa hebatnya getaran cinta ironi yang dibungkus dengan elegan. Titanic, Romeo and Juliet, The Butterfly Effect, Maryamah Karpov, tak kurang dari cukup menggambarkan hebatnya cinta ironi. Itu sesuatu yang nyata.

Misalkan Titanic, merupakan film dengan keuntungan tertinggi yang pernah dibuat, walau bisa dikalahkan oleh The Dark Night Rises (kalo gak salah), namun dengan teknologi sehebat sekarang, siapa yang tidak mudah mengalahkan keuntungan film Titanic? Namun lihat film Titanic, film tahun akhir 90-an itu berjaya dengan teknologi film "seadanya" jika dibandingkan dengan sekarang. Romeo and Juliet, siapa yang meragukan hasil karya sastrawan Inggris Shakespare itu? Tak ada boi. Itulah mengapa jika terkadang, eh sering ding, sering banyak karya saya yang bersuasana kelabu, mendung, namun tidak jarang juga ada beberapa yang bernuansa biru langit cerah. Karena bumbu romansa selalu hadir di dalamnya.

Okay, cukup diskusinya. Ini dia puisinya, haha.


1. Berani

Tak mengerti?
Ini yang kedua kali.
Tak mengerti lagi?
Ini yang ketiga kali.
Masih tak jua mengerti?
Bahkan ini yang keempat kali.

Inilah mengapa disebut berani.
Karena tak mengerti dan tak 'kan pernah mengerti.
Dan katamu di mimbar tempo hari,
membuatku mengerti,
bahwa aku tak 'kan mengerti.

Ah! Betapa aku sungguh berani.
                                                                Limpat S.


2. Aktor

Bisakah kau tenang?
Bisakah ku tenang?
Tak bisakah ku bebas?
Tak bisakah kau lepas?

Jangan ada lagi,
headline tentang ku.
Jangan ada lagi,
pembicaraan tentang ku.
Jangan lagi,
puja-puja aku.

Hidupku glamour,
namun kau selalu perhatikan.
Tak bisakah privasi kudapatkan?
Tak semua yang kau kata benar.
Tingkahku tak seperti kau berprasangka.
Kau hanya membuatku tertekan,
daripada kau membuatku berkembang.

Bahkan aku muak pada diriku,
sendiri.
Karena tak mampu ku rubah hidupku,
dengan kekuatanku sendiri.
Ah! Aku menjalani hidupku, dalam penjara hidupku.
                                                                Limpat S.


3. Kagum

Koridor ku lewati.
Koridor ku berhenti.
Koridor ku pandangi.

Terkejut! Di koridor aku berhenti.
Kupandang karya mu,
ku baca satu persatu.
Menarik!
Kata-kata itu....
aku kagum pada kuning-bening mu.
                                                                Limpat S.


4. Akhir

Entah sudah berapa kali.
Akhir selalu ku ucap berkali-kali.
Namun hati tak pernah berhenti berlari.

Kini lemah tubuhku.
Tubuh ini,
sudah tidak tahan mengikuti hati yang tak urung berhenti.
Ku putuskan kali ini, hati ini berhenti.
                                                                Limpat S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar