Well, ini adalah kumpulan puisi ku yang lain. Kumpulan puisi
ini, kali ini aku beri judul kompilasi. Kompilasi karena saya akan mengisinya
dengan esay dan kumpulan puisi. Jadi gabungan gitu.
Sebelumnya, saya ingin memberitahu padamu bahwa untuk
berikutnya, puisi-puisi ku akan saya jadikan dalam satu postingan. Jadi satu postingan
berisi beberapa puisi. Bisa diibaratkan satu postingan merupakan satu album
yang berisi beberapa lagu (beberapa puisi). Jika sebelumnya atau berikutnya nanti ada satu
postingan untuk satu puisi, anggap saja itu lagu (puisi) single. Hahaha.
Mungkin saja, jika saya punya gitar maka saya akan lebih banyak menulis lagu daripada
menulis puisi. Mungkin....oke, tapi terlepas dari semua itu, saya sama-sama
senang dengan kedua aktivitas tersebut.
Okay, ada satu hal yang ingin ku sampaikan tentang
pemikiranku kali ini. Jika Kawan perhatian, biasanya, dalam penciptaan suatu
karya sastra selalu tak luput dari yang namanya bumbu asmara di dalamnya. Baik
itu naskah drama, film, cerpen, puisi, dan karya-karya satra lain, bumbu asmara
atau percintaan selalu menjadi primadona. Tak peduli pula genre yang ada dalam
jenis karya sastra tersebut. Misalkan drama komedi, maka hampir selalu ada
bumbu romansa dalam ceritanya. Atau film horor sekalipun, maka akan ada bumbu percintaan
pada karakter yang ada dalam film tersebut.
Well, sebenarnya pandangan saya akan realita itu biasa-biasa
saja. Justru saya malah setuju karena tak bisa dipungkiri, kekuatan bumbu romansa
dalam suatu karya sastra sangat memikat para penyimaknya. Selain itu, saya
setuju dengan bumbu tersebut karena akan meningkatkan suatu originalitas karya
sastra tersebut dan bisa menjadi master piece hanya karena adanya bumbu tentang
percintaan. Kan yang paling penting adalah bagaimana kita mengendalikan itu
dalam kehidupan sehari-hari, jadi sah-sah saja menurutku bumbu tersebut hampr
selalu ada.
Mungkin dikarenakan manusia ini diciptakan untuk
berpasangan, maka saat ada bumbu mengenai romansa, walaupun hanya sedikit, maka
siapapun akan berdiri telinganya dan akan menyimak karya sastra tersebut. Ya
saya akui, hampir semuanya, karena ada juga sebagian manusia di muka bumi ini,
ya sekian persenlah, itu biasa-biasa saja melihat bumbu-bumbu romansa seperti
itu. Dan saya belum melakukan observasi mendalam mengapa sebagian orang
tersebut bisa seperti itu.
Namun, dari sekian banyak bumbu percintaan yang ada, mulai
dari cinta monyet, cinta pandangan pertama, cinlok, cinta romantis, cinta
happy, dan lain sebagainya, cinta ironi dan cinta platonik (cinta dengan
perasaan tidak menggebu-gebu) merupakan inspirasi utamaku. Mengapa begitu?
Karena, cinta identik dengan sesuatu yang namanya rasa senang tanpa alasan yang
jelas, maka cinta tersebut akan semakin kuat getaran yang dihasilkan jika ironi
mengusik kehebatan cinta para tokoh yang ada dalam karya sastra. Salah satu contohnya
bisa dilihat di (It's Too Late, Tania) hehe, promo.
But, it's sure. Bisa kau lihat betapa hebatnya getaran cinta
ironi yang dibungkus dengan elegan. Titanic, Romeo and Juliet, The Butterfly
Effect, Maryamah Karpov, tak kurang dari cukup menggambarkan hebatnya cinta
ironi. Itu sesuatu yang nyata.
Misalkan Titanic, merupakan film dengan keuntungan tertinggi
yang pernah dibuat, walau bisa dikalahkan oleh The Dark Night Rises (kalo gak
salah), namun dengan teknologi sehebat sekarang, siapa yang tidak mudah
mengalahkan keuntungan film Titanic? Namun lihat film Titanic, film tahun akhir
90-an itu berjaya dengan teknologi film "seadanya" jika dibandingkan
dengan sekarang. Romeo and Juliet, siapa yang meragukan hasil karya sastrawan
Inggris Shakespare itu? Tak ada boi. Itulah mengapa jika terkadang, eh sering
ding, sering banyak karya saya yang bersuasana kelabu, mendung, namun tidak
jarang juga ada beberapa yang bernuansa biru langit cerah. Karena bumbu romansa
selalu hadir di dalamnya.
Okay, cukup diskusinya. Ini dia puisinya, haha.
1. Berani
Tak mengerti?
Ini yang kedua kali.
Tak mengerti lagi?
Ini yang ketiga kali.
Masih tak jua mengerti?
Bahkan ini yang keempat kali.
Inilah mengapa disebut berani.
Karena tak mengerti dan tak 'kan pernah mengerti.
Dan katamu di mimbar tempo hari,
membuatku mengerti,
bahwa aku tak 'kan mengerti.
Ah! Betapa aku sungguh berani.
Limpat
S.
2. Aktor
Bisakah kau tenang?
Bisakah ku tenang?
Tak bisakah ku bebas?
Tak bisakah kau lepas?
Jangan ada lagi,
headline tentang ku.
Jangan ada lagi,
pembicaraan tentang ku.
Jangan lagi,
puja-puja aku.
Hidupku glamour,
namun kau selalu perhatikan.
Tak bisakah privasi kudapatkan?
Tak semua yang kau kata benar.
Tingkahku tak seperti kau berprasangka.
Kau hanya membuatku tertekan,
daripada kau membuatku berkembang.
Bahkan aku muak pada diriku,
sendiri.
Karena tak mampu ku rubah hidupku,
dengan kekuatanku sendiri.
Ah! Aku menjalani hidupku, dalam penjara hidupku.
Limpat
S.
3. Kagum
Koridor ku lewati.
Koridor ku berhenti.
Koridor ku pandangi.
Terkejut! Di koridor aku berhenti.
Kupandang karya mu,
ku baca satu persatu.
Menarik!
Kata-kata itu....
aku kagum pada kuning-bening mu.
Limpat S.
4. Akhir
Entah sudah berapa kali.
Akhir selalu ku ucap berkali-kali.
Namun hati tak pernah berhenti berlari.
Kini lemah tubuhku.
Tubuh ini,
sudah tidak tahan mengikuti hati yang tak urung berhenti.
Ku putuskan kali ini, hati ini berhenti.
Limpat
S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar