21 Jul 2013

Made by The 90's bagian 1

Kawan, akan ku mulai ceritaku ini dari awal sekali. Di sekolahku, kita akan mempunyai teman sekelas yang sama selama tiga tahun. Berbeda ceritanya jika waktu kelas XI ada yang masuk kelas IPS, karena yang bersangkutan harus pindah kelas. Namun uniknya kelasku, tidak satupun dari anggota kelas kami yang memasuki kelas IPS.

 Jadinya terperangkaplah kami berdua puluh sembilan orang anak yang sama dalam satu kelas selama tiga tahun. Cukup bagus, karena selama kurang lebih tiga tahun itu kami bisa saling mengenal luar dalam. Ehm, mungkin kata “dalam” di sini artinya sifat ya. Oke pokoknya artinya seperti itu. Bukan arti yang macam-macam.

Tidak ada angin tidak ada hujan, ketika kami kelas XII, tiba-tiba munculah sebuah ide untuk membentuk sebuah band kelas. Ide ini sungguh sangat relevan, mengingat di kelas ku tak kurang dari enam anak yang bisa bermain gitar, bahkan ada lima anak juga yang ikut paduan suara sekolah.

Mengingat track record paduan suara sekolah kami yang telah go international, maka teman-temanku ini bukanlah orang sembarangan. Ide ini semakin menjadi nyata karena selama tiga tahun itu kami tak pernah mempunyai band kelas walau dengan stock bakat musik yang melimpah ruah.

Hingga akhirnya Rio temanku yang luar biasa ini bersama Ivan, mengajakku bergabung. Target band kelas ini adalah tampil di MPDK, acara perpisahan sekolah kami. Aku tahu ini semacam proyek ambisius, karena tampil di MPDK adalah sesuatu yang istimewa dan tak mungkin band kelas kami tampil seadanya. Dan tentunya proyek ambisius ini ingin meninggalkan kesan dengan gaya ketika tampil di MPDK. Dan aku sangat senang dengan proyek yang ambisius. Aku sambar dan akhirnya bergabung.

Ada alasan-alasan tersendiri bagiku mengapa langsung menyambar kesempatan ini. Dengan kemampuan setengah-setengah seperti ku, mengikuti sebuah proyek yang ambisius merupakan tantangan tersendiri. Karena dengan begitu setidaknya aku dituntut berkembang dan mampu mengikuti atau minimal mengimbangi mereka sehingga proyek ini terlaksana. Oleh karena itu, aku harus memberikan 110% kemampuan agar semua itu tercapai.

Alasan kedua, mengikuti sebuah proyek ambisius berarti mengikuti sebuah proyek yang terus hidup karena ada hembusan motivasi dari anggota di dalamnya untuk terus maju dan mencapai tujuan.

Sebenarnya kami juga mengajak Cahyo (bukan nama sebenarnya, nama sebenarnya Dwi Cahya S). Bukan tanpa alasan kami mengajak Cahyo, karena Cahyo adalah drummer terbaik kelas kami. Namun sayang sekali, kawanku yang flamboyant ini sudah bergabung dengan band lain, dan ada peraturan di MPDK bahwa ada larangan bagi siswa tidak boleh bermain lebih dari satu band. Di satu sisi peraturan ini benar karena bisa memberikan kesempatan bagi yang lain. Namun, di satu sisi ini adalah peraturan yang konyol. Haha, pendapat konyol itu mungkin karena aku merasa dirugikan. Akhirnya (baca : sialnya), aku mengisi posisi Cahyo.

******
Setelah ide band kelas ini berhembus kencang di kelas dan menjadi top trending topic kelas kami, haha, endak ya. Intinya setelah ide ini mencuat, beberapa anggota proyek ambisius ini telah direkrut, dan setelah mengerjakan UNAS, kami bertiga, Rio, Ivan, dan aku latihan untuk pertama kalinya.

Kami menyewa studio musik di daerah Dharmahusada, cukup dekat dengan pusat Surabaya. Studio ini semacam studio langganannya Rio, karena dengan kemampuannya yang hebat dalam memetik gitar, maka sudah sering baginya berganti-ganti band tergantung penawaran yang ada, dan ke studio ini mungkin baginya sama seperti frekuensinya pergi ke jamban saat bersama band-bandnya yang dulu. Sedangkan aku baru pertama kalinya ke studio ini, sama seperti frekuensiku melaksanakan khitan, hanya satu kali.

Awalnya aku berpikir bahwa ini adalah band yang keren. Lihatlah kami, terdiri dari tiga orang saja. Ini seperti band-band keren mancanegara lain seperti Nirvana, Muse, Sum 41 atau minimal seperti Blink-182, hehe. Lihatlah mereka, sudah berapa kali mereka keliling dunia? Berapa kali mereka mendapat piala penghargaan? Tak terhitung! Bahkan mungkin, frekuensi keliling dunia dan mendapat penghargaan mereka itu lebih banyak daripada frekuensi total anggota band mereka pergi ke jamban.

Namun, terkadang kenyataan tak semudah dan tak seindah mimpi. Alih-alih seperti Nirvana yang menginspirasi band terkenal lain, atau seperti Blink-182 dengan keberhasilan mereka mengenalkan musik punk ke kancah dunia, kami malah seperti Trio Kwek Kwek.

Tak berlebihan aku berkata seperti itu. Tapi sebenarnya, Kawan, akulah penyebab utama yang membuat band kelas yang awalnya keren seperti Sum 41 ini menjadi band kelas macam Trio Kwek Kwek.

Sering sekali dan tak terhitung kesalahanku dalam memainkan tempo ataupun beat drum. Tak berlebihan ku katakan waktu itu tempo drum ku berlari deras menuju selatan dan beat drum ku menari patah-patah menuju utara. Sangat tidak selaras.

Beberapa kali dicoba masih tetap sama. Mungkin ada sedikit perubahan di akhir sesi latihan, dari Indonesia tempo ku merangkak menuju selatan lalu berbelok menuju Australia sedangkan beat ku yang awalnya menuju utara, sekarang mulai berbelok ke Rusia. Namun Kawan, jika kau lihat peta dunia, sebenarnya itu sama saja dengan tidak ada perubahan dengan sebelumnya.

Sebenarnya kami tidak bertiga. Kami mengajak Made, temanku yang ditakdirkan berdarah campuran Bali ini juga dibujuk untuk ikut bergabung. Tapi waktu itu masih ku ingat, dia tidak datang karena alasan, “Males, panas’e van.” Begitu katanya pada Ivan. Well, tidak salah, memang panas waktu itu karena kami booking studio dari jam 12 hingga pukul 2 siang.

Lalu kami juga mengajak Dinsa, teman kelas kami yang ber-gender cewek dan menjadi bagian dari paduan suara sekolah kami. Kami sebenarnya waktu itu ingin mengkultusnya menjadi vokalis, tapi waktu itu Dinsa tak bisa datang. Tak tahu kami alasannya mengapa ia tak datang. Selidik punya selidik, jika ingatanku tidak salah, ternyata dia harus mengejar kereta ke Malang pada waktu itu.

Well, mengejar kereta juga bukan perkara mudah. Usain Bolt saja, yang katanya manusia tercepat, bisa kalah sama kereta! Gimana ceritanya Dinsa bisa ngejar kereta coba? Oke, mulai absurd. Fokus. Fokus. Sebenarnya aku ingin membuat cerita yang berkelas, Kawan. Tidak terlalu banyak selengekan seperti cerita-cerita lain. Ini aku curhat, Kawan. Cukup berat membuat cerita berkelas. Absurd. Fokus. Fokus. Oke, mari kita lanjutkan cerita kita. Karena mereka berdua tidak datang, Trio Kwek Kwek pun menggila.

Kami waktu itu menghubungi mereka berdua terus-menerus. Bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul 13.30, kami masih tetap menghubungi mereka. Padahal kalian tahu, Kawan, jika jam setengah dua itu berarti sudah mepet sekali dengan berakhirnya jatah booking-an studio kami. Namun, kami bertiga memiliki alasan yang kuat untuk terus menghubungi mereka. Oke, sebenarnya ini alasannya Rio, tapi aku juga mengamini alasannya. Bahkan aku adalah orang nomor satu yang membela alasannya Rio mati-matian.

Alasannya mudah ditebak namun sangat kuat dan tidak bisa digoyahkan dari seluruh penjuru mata angin, yaitu jika kami berhasil mengajak salah satu dari Made atau Dinsa, maka biaya urunan untuk menyewa studio tidakklah terlalu mahal.

Ini sangat penting. Sungguh. Biaya sewa studio musik per shift-nya (dua jam) sebesar empat puluh lima ribu rupiah. Itu berarti jika dibagi tiga, maka setiap orang dari kami harus merogoh kocek sebesar lima belas ribu rupiah. Bayangkan Kawan, Rp 15.000!

Dan itu tidak mudah bagi kantong atau dompet pelajar, yang kalian tahu, jika sekali kantong atau dompet itu dibuka, entah mengapa isinya bisa menguap dalam hitungan detik! Apalagi bagiku, lima belas ribu rupiah bisa berarti sama dengan makan pangsit dua setengah porsi (dengan asumsi harga pangsit enam ribu rupiah per porsi). Dan dua setenga porsi pangsit bisa sangat berpengaruh pada berat timbangan badanku yang perlu santunan lemak ini.

Namun pada akhirnya, kami, Trio Kwek Kwek yang mempunyai mimpi setinggi Nirvana, harus menelan pil pahit. Made dan Dinsa tak datang, lima belas ribu ku melayang, dan pangsit pun tak pernah datang.

******
Setelah tragedi Trio Kwek Kwek di medio bulan Mei, kami vakum kurang lebih seminggu. Tidak ada kabar. Mungkin karena kami trauma akan beat drum yang nyasar sampai daratan Eropa yang dingin di Rusia sana. Aku pun juga trauma.

Namun, entah dari mana munculah ide bahwa kita akan bermain akustik. Ide ini tidak buruk, justru keren, karena saat MPDK hampir keseluruhan siswa yang bermain adalah band. Namun akustik? ini sebuah gagasan yang luar biasa.

Bayangkan sebuah malam perpisahan di malam hari nan syahdu dengan setting di dalam sebuh hall yang luas dan megah, dinding-dinding hall dihias elegan dan cat warna-warni, lalu diiringi musik yang mengalun lembut dari petikan gitar akustik. Awesome! It will be so fabulous!

Lihatlah ini Kawan, kekuatan dari sebuah proyek ambisius. Ketika sebuah tragedi mengerikan terjadi, maka lihatlah hasilnya, ide gila luar biasa yang mengalahkan ide sebelumnya!

Well, sebenarnya aku ingin mencoba lagi posisi drum. Sekali lagi saja. Jika memang tak memuaskan, berarti kita akan tampil akustik. Namun entah mengapa aku urungkan niatku. Hingga akhirnya Ivan setuju tampil akustik. Aku pun setuju. Kawan, aku tak banyak bicara soal pendapatku di awal mula terbentuknya band ini, begitupun hingga formasi lengkap sekarang ini karena untuk dapat bergabung dalam proyek ambisius ini saja, aku sudah sangat bersukur.

Dan segera saja ide gila luar biasa ini segera kami wujudkan. Kami merekrut lagi beberapa teman kelas kami. Kami bisikkan mereka mimpi kami tentang penampilan akustik yang elegan nan penuh gaya dihadapan seluruh siswa sekolah kami plus guru-guru kami di MPDK. Kami janjikan mereka penampilan yang tak kan terlupakan di malam perpisahan ini.

Mereka tertarik, dan akhirnya Made dan Dinsa bergabung….ehm, well mereka sebenarnya memang sudah diajak sebelumnya dan bukan orang baru. Dan sebenarnya mereka juga setuju untuk ikut band kelas ini waktu tragedi Trio Kwek Kwek terjadi, hanya saja mereka tidak bisa datang waktu itu. Namun apalah artinya semua itu, intinya jadilah kami berlima.

Latihan pertama band akustik kami di rumah Rio. Waktu itu kami masih melihat-lihat beberapa pilihan lagu yang telah disiapkan oleh panitia MPDK. Kami melihat peluang bahwa pemilihan lagu lebih baik diserahkan kepada vokalisnya saja, karena jika vokalisnya sreg dan enjoy dengan lagu pilihannya, maka menyanyinya pun jadi enak. Dan kehormatan memilih lagu pun diserahkan ke Dinsa.

Lagunya ada Clock by Coldplay, TikTok by Ke$ha, Count On Me by Bruno Mars, Time Is Running Out by Muse, SebuahKisahKlasik by Sheila On 7, dan ArtiSahabat by Nidji. Entah mengapa Dinsa memilih TikTok. Kami pun setuju.

Setelah cukup lama kami berlatih di hari pertama ini, munculah ide lagi untuk menambah vokalis. Pertimbangannya agar suara vocal lebih ramai dan penguasaan panggung lebih menggigit. Kami semua menyetujui gagasan ini. Ah, Kawan, lihatlah ini kekuatan dari sebuah proyek ambisius, ide tak akan pernah habis!

Dan segera setelah disetujuinya ide ini, kami mengontak Cana, teman kelas kami yang juga mengikuti paduan suara sekolah. Sungguh luar biasa, dia menerima tanpa syarat dan terbentuklah formasi lengkap band kelas kami. Ivan dan Rio pada gitar, Made pada gitar dan perkusi, Dinsa dan Cana pada vocal.

Lihatlah teman-temanku yang luar biasa ini, Kawan. Ivandito Herdayanditya, yang biasa dipanggil Ivan, temanku yang luar biasa ini mempunyai kulit yang sedikit gelap. Bentuk wajahnya seperti acorn atau kacak oak, sedikit berbentuk kotak di bagian kepala lalu turun mengerucut hingga ke dagu. Bibir bagian bawahnya tebal dan mempunyai alis yang tipis.

Sejenak aku terkejut ketika bertemu dengan orang tua maupun adiknya, karena dia sungguh berbeda. Dan aku berpikir betapa Allah Mahabesar sehingga mampu membuat keanekaragaman genetik yang rumit dan menghasilkan individu baru yang bisa berbeda secara fisik dengan induknya. Namun walau begitu, dia merupakan salah satu kebanggan sekolah kami karena mampu bersaing di OSN.

Satu hal yang selalu ku kagumi dari temanku satu ini adalah pemikirannya. Tak jarang ketika aku, atau temanku menghadapi masalah, lalu komentar sana-sini, menyalahkan ini-itu, dan mengeluh sesuka hati, dia akan memberikan tanggapan yang berbeda. Dan dengan kata-kata ajaib dari mulutnya kita bisa menyadari bahwa pemikiran kita terlalu sempit sehingga berkomentar-komentar miring seperti itu. Mungkin bagi sebagian orang itu menyebalkan, namun bagiku itu adalah anugrah pemikiran yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Terkadang aku malu pada diriku sendiri.

Tak sampai di situ, kekaguman utama ku pada Ivan adalah cara dia memetik gitar. Saat pertama kali aku dengar saat ia bermain gitar, suara yang dihasilkan mempunyai warna jazz-pop dengan perpaduan keroncong yang unik. Kurang lebih seperti RAN dengan nada miring-miring yang diperlihatkan. Sangat tak biasa, ganjil, dan mengejutkan. Baru pertama kutemui secara langsung orang yang memiliki warna musik seperti ini.

Ada hal yang selalu membuatku tertawa geli jika mengingat Ivan. Tak jarang dia selalu melakukan hal-hal yang tak perlu dan aneh, seperti orang kehilangan kewarasannya, sehingga meledakkan tawa kelas kami. Contohnya adalah perseteruannya dengan Made tentang…ah, aku ceritakan nanti saja, Kawan. Belum saatnya.

Gitaris kami satunya, Rio Pradana Manggala Putra, biasa dipanggil Rio, terkadang dipanggil koko oleh teman-teman cewek kelas kami. Tubuhnya berisi proposional, setidaknya tidak sekering diriku. Wajahnya bulat bersih dan hobi sekali berpotongan cepak hingga mendekati gundul. Akan sangat mirip sekali dengan biksu tong jika ia berpakaian biksu tentu saja. Jika aku melihat fotonya waktu kecil di rumahnya, maka aku teringat kue bolu bulat, yang lucu, sedikit pejal, dan mengenyangkan itu.

And what can I say about him? He’s the perfect one. Jika kau pernah membaca novel Laskar Pelangi dengan kepintaran Lintang yang luar biasa dan kehebatan Mahar dalam bermusik, maka, Rio, temanku yang satu ini mempunyai kedua bakat itu! Jika ku ceritakan padamu, Kawan, tentang betapa hebatnya kedua bakat akademis dan bermusik yang ia punya, maka inilah penjabaranku.

Kawan, tak pernah sekalipun, dia, selama tiga tahun sekelas dengan ku, rangking di bawah tiga besar! Sekolahku yang luar biasa menggila dalam hal kompetisi akademik, yang kalian jika teler sedikit maka akan langsung mencetat menempati urutan buncit, dan hal gila lainnya mengenai tugas-tugas menumpuk di sekolahku, maka itu semua tidak berlaku bagi Rio, dia tetap stabil di atas. Luar biasanya lagi, dia juga ikut paduan suara sekolah ku yang kondang itu. Belum sampai di situ, dia juga merupakan gitaris terbaik kelas kami. Dia pula yang frekuensi pergi ke studio musiknya sama dengan frekuensi pergi ke jamban.

Tak sampai di situ, guru les ku yang pernah mengenalnya saat SD pun mengatakan bahwa Rio adalah anak yang lengkap. Kata guruku itu dia waktu SD bermain piano, dan baru tahu kabar terbarunya lagi setelah ku ceritakan bahwa sekarang dia lebih sering bermain gitar. Dan kau tahu Kawan apa komentar guruku setelah aku bercerita tentangnya? “Oh, tambah lengkap ae Rio iku.”        (Oh, semakin lengkap saja Rio itu.)

Entahlah Kawan, pasti sangat beruntung sekali orang yang akan menjadi pendamping hidupnya suatu saat nanti. Ehm, mungkin aku berpikir terlalu jauh, mungkin yang paling relevan untuk saat ini adalah pasti bangga sekali menjadi kedua orang tuanya.

Dinsa Celia Putri, vokalis kami. Mudah ditebak jika panggilannya Dinsa. Wajahnya bulat manis dengan pipi nyempluk berisi, bibirnya kecil dengan deretan gigi rapi yang kecil-kecil lucu. Dan kenyataanya adalah dia memang calon dokter gigi. Sangat relevan antara gigi dan profesinya nanti. Dan itu bagus untuk membangun trust konsumen.

Jika saja dia lebih putih lagi, mungkin dia akan terlihat seperti orang Cina, namun dengan mata yang terbuka lebar, tidak sipit. Secara kesuluruhan, dia teman kami yang cantik, namun wajahnya lebih ke arah lucu menggemaskan, dan tak heran berkali-kali dia di hubungi cowok-cowok sok kenal yang ingin mendapatkan hatinya. Ciee…

Namun, Kawan, Dinsa bukanlah tipe orang yang haus akan suasana romansa nan aduhai dan cerita cinta picisan. Akan sangat lebih afdhol sekali jika kalian menjadi sahabatnya. Itu lebih indah, Kawan. Sungguh. Walaupun dia bukanlah tipe kepribadian yang terbuka, namun jika kau sudah mengenalnya maka tak segan ia berbagi cerita lucu dan pengalamannya, dan sering kali ceritanya itu dari mas-mas atau mbak-mbak saudaranya.

Satu hal yang aku heran dari Dinsa selama tiga tahun sekelas dengannya, yaitu adalah dia punya banyak sekali saudara mas dan banyak sekali saudara mbak. Misal ada mbaknya yang di kedokteran gigi, terus ada lagi yang di arsitektur, belum lagi mas saudaranya yang ini, terus yang itu, dll. Karena terlalu banyaknya, sehingga ketika dia bercerita tentang saudaranya, aku harus berpikir dulu, yang mana yang dimaksudkan olehnya.

Sering kali aku mengatakan padanya untuk memberi nomor pada mbak-mas saudaranya itu. Sehingga dengan begitu mudah diingat. Misalnnya mbak nomor satu itu berarti mbaknya yang di kedokteran gigi, terus mbaknya yang nomor dua di sini, dst. Begitu pula dengan saudara masnya, masnya yang nomor satu itu yang ini, masnya yang nomor dua itu yang punya ini, dst.

Terkadang timbul pertanyaan di otakku. Apakah jika diurutkan semua saudaranya jumlahnya sampai dua puluh? Atau malah lebih? Atau jangan-jangan sebenarnya mbak-mas nya hanya satu namun memiliki kepribadian ganda yang berbeda-beda? Ah, itu tak mungkin. Namun pertanyaanku yang lain tak pernah terjawab. Karena sampai sekarang Dinsa tak pernah mengurutkan mbak-mas saudaranya, meskipun telah berbusa-busa mulutku mendesaknya.

Cana Antyanta Dias adalah nama yang indah. Well, orangnya juga tidak berbeda dengan namanya itu. Cana adalah panggilannya. Jika boleh aku deskripsikan dan aku simpulkan dari kata teman-teman di sekitarku, maka Cana adalah manifestasi kecantikan yang sesungguhnya.

Wajahnya lonjong dengan kulit yang putih. Bibirnya lebar menggoda setiap kali tersenyum, matanya yang lebar ditemani alis yang tebal cantik. Tubuhnya tinggi langsing proposional dan jelas lebih tinggi dari ku. Jika boleh dibilang, tak kurang ia seperti Angelina Jolie sewaktu muda. Belum lagi kemampuannya bermain piano yang luar biasa. Aku yakin jika Cana membaca ini, maka mungkin dia akan merasa melambung seperti balon kelebihan helium, terus melayang menuju langit biru yang cerah, lalu pecah karena tak mampu menahan perasaan senang.

Tapi memang, Cana adalah primadona. Bukan hanya di kelas kami namun juga di sekolah kami. Saya juga heran kok kebetulan kelas ku yang ketempatan orang seperti ini. Belum lagi pribadinya yang supel. Tak heran jika kalian baru berkenalan dan kalian haus akan nuansa romansa (baca : jomblo kurang kerjaan), kalian tak akan cukup kuat mengalihkan pandangan mata dari wajahnya. Mungkin jika Cana masih meneruskan membaca ini maka sekarang pecahan balon itu meleleh karena panasnya pujian yang ia terima.

“Sudah cantik, tinggi, bisa nyanyi. Idaman wes.” Ya itulah kata-kata yang paling tepat menggambarkan Cana. Dan kata-kata itu dilontarkan oleh salah satu seorang juri ketika kami audisi. Tunggu. Aku belum menceritakan tentang audisi ya? Tenang, akan membutuhkan tempat tersendiri untuk menggambarkan audisi itu, dan masih belum saatnya, Kawan. Karena ada satu lagi temanku yang perlu kuceritakan padamu.

Namanya Made Dwi Andri, front-man band kami. Panggilannya adalah Made yang dibaca dalam bahasa Inggris. Kau pasti tahu maksudku, Kawan. Membaca Made itu seperti membaca kata made dalam kalimat I made a doughnut yesterday. Ya seperti itu,kau pasti tahu maksudku.

Bagiku? Made adalah bintang yang sesungguhnya. Lihatlah dia, dari semua kaum Adam yang ada dalam band kelas ini, dia yang paling atletis dan paling ganteng. Sungguh. Badannya yang tinggi dan kekar membuatnya jika mengenakan pakaian apapun terlihat keren. Sehingga tak heran jika cukup banyak cewek disekitarnya.

Tidak cukup sampai disitu. Made seperti utilities, serba bisa. Dalam permainan football America, maka dia seperti The Tight End (TE). Dan itu sangat penting dalam sebuah tim.

Kehebatannya, jika aku gambarkan seperti ini. Dia calon dokter gigi dan satu fakultas dengan Dinsa, pemain basket dan menjadi andalan sekolah kami, pebisnis yan berbakat, seorang stand up comedi-an, dan kau tahu apalagi, Kawan? Dia seorang pebalap slalom!

Mungkin kekurangannya hanya kulitnya yang sedikit gelap. Dan Made ini biasanya memiliki perseteruan dengan Ivan yang lucu dan seru mengenai siapa yang lebih putih diantara mereka berdua.

Entah dari mana dasar mereka berdua, tapi setiap kali mereka membandingkan, maka pemenangnya bisa berbeda-beda. Terkadang lebih putih Ivan, terkadang lebih putih Made. Dan inilah maksudku tentang kelakuan Ivan yang tidak perlu dan mengundang tawa.

Hasil pertandingan terakhir diantara Made dan Ivan adalah Ivan lebih putih. Namun Made berdalih dia jadi lebih hitam karena harus menekuni slalom lebih intens. Hingga akhirnya Ivan berceletuk,
“Eh, Made, ayoa tanding engkok ayu-ayuan bojoe*.”     (Eh, Made, berani tanding nanti pasangannya lebih cantik siapa?)
“Ayo, kapan? Saiki ta?”                                                                  (Ayo, kapan? Sekarang?)
“Yo gak, ngkok pas kawin.”                                                          (Ya tidak, nanti waktu sudah menikah)
“Walah van, tak pikir saiki..”                                                        (Oala van, aku pikir sekarang..)
*bojo dalam kamus anak muda Jawa bisa berarti pacar.
Sungguh perseteruan ini semakin menggila saja. Namun lucu luar biasa. Dan bahkan aku sampai sekarang bertanya-tanya apakah perlombaan tentang cantik-cantikan istri ini jadi terlaksana atau tidak.

Ada satu sifat yang selalu ku kagumi dari Made dan belum secuil pun aku mendekati sifat itu. Dia sangat loyal sekali pada kawan-kawannya. Jangan kau tanyakan padaku seperti apa loyalnya, karena tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Inilah band kelas kami. Inilah keunikan dan kehebatan masaing-masing kawan-kawanku. Dan lihatlah proyek ambisius ini. Begitu mempunyai potensi yang luar biasa besar.

Katakanlah saja olehmu misalkan ada penonton yang tak terlalu suka dengan musik. Maka, tak perlulah penonton itu mendengar musik kami, para penonton pasti sudah tertarik dengan kedua vokalis kami yang cantik, bahkan sebelum kami memainkan musik kami.

Atau katakanlah saja olehmu jika ternyata kaum Hawa yang tak tertarik dengan musik, dan itu berarti mereka tak tertarik dengan kedua vokalis kami. Maka Made  siap mengisi lubang ini. Atau jika para penonton memang ingin menikmati musik, maka biarlah Ivan dengan petikan khasnya dan Rio gitaris terbaik kelas kami yang akan menjawabnya.

******
Tak semua band dapat tampil dalam MPDK. Itu dikarenakan acara ini hanya berlangsung satu malam saja. Sehingga waktunya terbatas. Akibatnya, ada batasan kuota untuk band yang dapat tampil.

Kuotanya pun dibagi-bagi lagi menurut angkatan. Karena MPDK adalah acara perpisahan kelas dua belas maka kuota band untuk kelas dua belas pun lebih banyak.

Karena adanya batasan kuota tersebut, maka diperlukan semacam kualifikasi terlebih dahulu bagi band-band yang ingin tampil dalam MPDK. Dan kualifikasi itulah yang aku sebut audisi di atas tadi. Dan di audisi itu pula Cana ditaksir salah seorang juri.

Pada mulanya kami menargetkan tampil dalam MPDK dengan penuh gaya. Itu berarti target pertama kami adalah sekedar lolos audisi terlebih dahulu.

Selidik punya selidik, setelah pendaftaran audisi band ditutup, ternyata hanya ada empat band kelas dua belas, termasuk band kelas kami. Dan ternyata jumlah kuota band untuk kelas dua belas juga ada empat pula. Praktis, berarti keempat band kelas dua belas pasti dapat tampil dalam MPDK dan audisi hanyalah semacam formalitas belaka.

Kami senang dengan berita baik ini, setidaknya fokus utama kami sekarang adalah langsung tampil dalam acara MPDK. Namun ternyata kabar baik ini juga menyulut tantangan bagi kami. Karena audisi ini juga berperan penting dalam menentukan jadwal tampil band yang ada.

Maksudnya seperti ini, semakin tinggi nilai suatu band dalam audisi, maka semakin besar peluang untuk memilih jadwal tampil yang mereka inginkan. Sehingga serta merta kami menyambut audisi ini tidak sekedar acara formalitas. Karena kami, yang awalnya menarget untuk sekedar lolos audisi, kini target kami telah berubah ingin tampil prime time!

Kami ingin tampil pada waktu saat jam ramai. Maksudnya yaitu ketika para penonton sudah datang semua dan pada saat ramai-ramainya penonton. Berarti untuk dapat memilih waktu ideal tersebut, maka kami untuk amannya adalah harus mendapat nilai tertinggi dalam audisi.

Lihatlah ini, Kawan, kekuatan dari sebuah proyek ambisius. Lihatlah awal mula kami yang mempunyai target hanya sekedar lolos audisi, sekarang mempunyai target menjadi pendulang  nilai tertinggi dalam audisi. Semangat kami pun berkobar untuk audisi ini.

Karena kami kelas dua belas, bisa dibilang kami freelance untuk persiapan band-band ini. Namun bisa juga dibilang tidak freelance. Karena sebagaimana kalian tahu, kami juga harus mempersiapkan sekolah kami masing-masing untuk jenjang yang lebih tinggi.

Dan untuk dapat diterima dalam perguruan tinggi itu bisa melalui beberapa jalur. Salah satunya adalah jalur SNMPTN, atau dulu yang biasa disebut dengan jalur Undangan, atau dulunya lagi disebut dengan jalur PMDK. Ya, begitulah, Kawan, Indonesia adalah negara yang sangat fleksibel. Dan karena saking fleksibelnya, sering kali membingungkan masyarakatnya sendiri.

Inilah yang aku sebut freelance gak freelance. Karena jika ternyata kami, atau mungkin salah satu anggota dari band kami ada yang tidak diterima di jalur SNMPTN ini, maka yang bersangkutan harus mengejar melalui jalur tes tulis nasional. Itu berarti yang bersangkutan harus vakum sementara waktu dari kegiatan band.

Kami semua tentu berharap diterima di SNMPTN ini. Karena dengan begitu, akan memudahkan langkah kami untuk mencapai target kami yang baru. Namun, bagaimanapun juga kami harus memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin bisa terjadi.

Akhirnya, kami mempunyai time line beserta deadline-nya. Jika dihitung-hitung, maka kami mempunyai waktu sekitar dua minggu sebelum pengumuman SNMPTN. Jadi artinya kami harus menyelesaikan lagu-lagu kami dalam dua minggu.

Karena jika tidak diselesaikan dalam dua minggu itu, dan ternyata ada salah satu dari kami yang vakum, maka praktis anggota kami yang vakum tersebut hanya mempunyai waktu empat hari mempelajari semua lagu sebelum audisi. Sebenarnya bukan mustahil, namun untuk menghasilkan permainan musik yang bersih, empat hari merupakan waktu yang cukup singkat.

Hingga akhirnya dua minggu tak terasa terlewati. Dan dua minggu itu sebenarnya waktu yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan dua buah lagu untuk kami audisi nanti.  Namun kenyataannya, biasalah anak muda, kami hanya menyelesaikan satu lagu, hehe.

Permasalahannya mulai dari tidak menemukan lagu yang bagus, hingga aransemen yang kurang menggigit. Muncul ide untuk me-medley (menggabungkan) beberapa lagu, namun masih belum menemukan lagu yang cocok untuk di di medley.

Sering kali kami menemukan lagu yang cocok bagi sebagian anggota, namun tidak cocok bagi sebagian anggota yang lain. Tiga tahun bersama tidak serta merta membuat semuanya menjadi mudah. Terkadang menjadi masalah yang rumit malah. Karena kami tidak ingin melukai sahabat kami yang telah bersama tiga tahun.

Dan apa yang menjadi kemungkinan terburuk kami menjadi nyata. Cana dan aku harus berjuang lagi melalui jalur tulis nasional. Kabar baik untuk Dinsa, Made, Ivan, dan Rio karena sudah memastikan perguruan tinggi mereka masing-masing. Namun sebaliknya bagi aku dan Cana. Dan menurutku secara keseluruhan, band kelas ini sedang diujung tanduk.

Dua hari setelah pengumuman SNMPTN, kami latihan lagi. Cana tak datang, dia sampaikan via telepon bahwa ia tak bisa datang hingga selesai ujian tulis nasional. Aku pun sebenarnya tak berniat datang, namun aku tak enak jika harus menyampaikannya via sms ataupun telepon. Aku ikut latihan hari itu untuk dapat menyampaikan persis apa yang disampaikan oleh Cana secara langsung.

Ditengah-tengah istirahat latihan, aku berbicara dengan tarikan napas yang sangat berat disetiap kata,
“Rek, sawangane aku gak isok melok latihan maneh mari ngene.”                             (Kawan, sepertinya aku tidak bisa ikut latihan lagi setelah ini.)
Suasana hening sejenak. Ivan memecah keheningan,
“Iyo bro santé ae, woles-woles.”                                                              (iya bro santai saja, tenang-tenang.)
Yang lain menimpali,
“Wes, masalah lagu gak usah mbok pikir, arek dewe ono akeh. Isoklah H-4.”        (Sudah, masalah lagu tidak usah kau pikirkan, kita ada banya. Bisalah H-4.)
Lihatlah kawan-kawanku yang luar biasa ini. Betapa kata-kata mereka sangat membesarkan hati.

******

1 komentar: