2 Jul 2013

Ta'aruf


Mungkin ini agak kontroversial ya dengan judul ta’aruf. Kontroversialnya bukan berkaitan dengan yang macem-macem. Menjadi kontroversial soalnya artikel ini merupakan (yang lagi-lagi) cerita hidupku yang nyata, bukan artikel mengenai arti ta’aruf. Kan kawan-kawan bisa saja berpikir bahwa ini merupakan artikel mengenai arti ta’aruf dengan melihat judulnya saja. Saya mohon maaf jika teman-teman merasa tertipu. Namun saya akan coba sedikit-sedikit menjelaskan ta’aruf sehingga mungkin bisa sedikit membawa manfaat. Oya, by the way, aku sedikit suka membuat kontroversi kecil-kecilan, hehe.

Seperti yang telah ku sebutkan, cerita ini merupakan pengalaman pribadi. Begitupun juga dengan cerita-cerita lainnya, namun ada juga yang fiksi kayak yang It’s Too Late, Tania. Hehe, promo. Peace man. Tapi senyata-nyatanya pengalaman seseorang, namanya penulis pasti selalu menulis beberapa “bumbu” untuk membuat tulisannya menarik. Jadi, jika teman-teman membaca buku fiksi, jangan seratus persen percaya, ada hal-hal yang menjadi “bumbu”. Nah, mana yang “bumbu” dan mana yang nggak? Itu dia bagian kontroversinya, dan itulah madunya. Hahaha…

Waktu itu, ada saudara ku yang lagi namanya, ehem, lamaran. Saudara ini gimana ya njelasinnya, lumayan jauh silsilahnya. Kalian pasti bingung, beneran ini, serius. Takutnya jika ku beritahu kalian pusing terus muntah-muntah. Tapi aku jelasin aja biar kalian pusing dan muntah-muntah, hehe. Ya beliau itu adalah anak dari adiknya nenekku dari pihak ibu. Bingung? Segera ke toilet, keluarkan isi perutmu sebelum aku yang mengeluarkannya. Well, geje, I know, sorry.

Kebetulan waktu itu mama ku ditelpon untuk ikut. Aku yang mendengar kabar itu tentu saja sangat antusias di dalam hati, tapi biasa aja di luar biar gak dibilang gila. Bukannya bermaksud apa-apa, karena aku belum pernah ikut acara seperti itu ketika aku sudah sedikit besar, pernah ikut kayak acara gitu tapi dulu, pas SD, I know I was katrok. Tapi, menurutku ini acara yang sangat penting, karena cepat atau lambat aku mungkin juga akan mengalami hal yang sama. Hehe. Inilah kesempatanku untuk ikut dan belajar sebanyak-banyaknya. Ini berkaitan dengan “masa depan” ku, jadi ini benar-benar penting, hehehe. Iya sih memang bisa saja aku nanti ndak pake acara kayak begituan, bisa saja aku langsung nikah nanti, atau bisa saja pacaran hingga 3 tahun terus langsung nikah, atau mungkin malah cuma kenalan seminggu terus langsung nikah, tak ada yang tahu. Yang tahu hanya Allah yang telah mencatat semuanya di Lauhul Mahfudz. Tapi ini tetep aja acara penting, ini bisa saja berkaitan dengan “masa depan” ku juga.

Lha terus apa hubungannya sama ta’aruf? Ta’aruf sendiri biasanya diartikan sebagai perkenalan, silahturahmi, atau kunjungan calon mempelai pria ke calon mempelai wanita. Di dunia dewasa ini sedikit bergeser artinya menjadi lamaran. Ta’aruf sendiri biasanya diselenggerakan untuk membuat para calon mempelai untuk saling berkenalan dan saling mengerti satu sama lain sebelum mereka menikah dan juga membuat persiapan segala sesuatunya sebelum para calon mempelai melanjutkan hidup bersama kelak. Dan tahap perkenalan ini pun masih ada batasnya, mereka tidak bercakap-cakap berdua saja namun juga harus ditemani mahram-nya masing-masing. Bahkan Rasulullah SAW sangat menganjurkan Ta’aruf bagi mereka yang akan menikah. Ada hadits-nya juga kalo gak salah.

Oke kembali lagi ke saudara ku. Saudara ku yang akan ngelamar itu cowok. Nah, di adat Jawa, jika kalian di ajak untuk ikut acara lamaran oleh pihak lelaki, berarti itu ikut membawa hadiah untuk diberikan ke pihak cewek. Aku yang baru tahu informasi itu langsung ku simpan baik-baik. Akan ku ingat, bukankah aku benar-benar ingin belajar? Nah, itu sih adat Jawa, tapi gak tahu kalo adat yang lain. Hehe, gak tahu juga di Rusia kayak gimana. Kenapa harus Rusia? Random.

Acaranya hari Minggu, dan aku sudak siap sejak fajar mulai menggeser bulan. Ya nggaklah, aku siapnya jam setengah delapanan, jam delapan berangkat. Harus ku akui, aku sedikit merasa tidak sabar selama diperjalanan. Tapi memori sedikit lucu muncul ketika aku baru  saja memasuki daerah kebraon. Karena waktu itu ada temen ku yang mau ke daerah kebraon tapi nyasar. Terus dia tanya orang, katanya, “Kudu nyebrang laut dek.” Huahaha, lha mbok pikir antarane Suroboyo karo Sidoarjo ono laute? Nek Lapindo iyo laut, laut lumpur. Kalo mau ke kebraon mah nyebrang kali masih masuk akal. Tapi nek kali diarani laut iku yo gak muasuk.

Setelah sampai di lokasi, barang-barang yang dibawa calon mempelai pria diberikan, termasuk yang ku bawa ini. Setelah itu acara seperti biasa. Kok biasa? Iya, bener. Biasa. Sumpah, biasa. Pembukaan, terus sekapur sirih dari perwakilan pria, sholawatan, sekapur sirh lagi dari perwakilan wanita, do’a, dan hala bihalal (makan-makan).

Dudukku cukup jauh agak di belakang. Memang tidak sesuai harapan sih karena memang niatnya pingin belajar sebanyak-banyaknya untuk “masa depan”, tapi mau bagaimana lagi. Saya bukan termasuk sesepuh yang memang seharusnya duduk depan. Malah saya yang paling muda waktu itu dari pihak laki-laki. Ya sudah, saya maksimalkan dari belakang.

Dari sekian banyak acara yang biasa itu, waktu sholawatan dan waktu halal bihalal lah acara yang paling menarik. Karena waktu sholawatan itu, para calon mempelai saling bertukar cindera mata. Bukan oleh-oleh atau hiasan semacam itu -,- tapi kayak perhiasan. Saya yang, ehem, “Alhamdulillah” dapet duduk belakang, gak bisa liat apa-apa saat sholawatan. Karena semua yang ada di situ berdiri sambil bersholawat, sambil melihat para calon mempelai bertukar cindera mata. Saya? Saya hanya bisa melihat kumpulan kepala item di depan . Sungguh menyenangkan. Ironis lebih tepatnya. Trus kenapa waktu halal bihalalnya menarik? Ya menariklah, lha orang makan-makan kok. Hehe

Biasanya kalo acara sekapurh sirih atau sepatah dua patah kata gitu kan membosankan ya? Tapi ini ndak. Bukan karena acara seperti itu tidak lagi mebosankan, tapi karena memang sebenarnya saya suka mendengarkan orang yang berbicara, berorasi, memberi sambutan, berceramah di depan atau di podium atau pun di mimbar. Tapi ya tergantung tema yang dibawakan sih. Jika temanya asik ya bagus, aku jadinya gak ngantuk dan memperhatikan tu orang yang ngomong. Tapi yang paling penting cara penyampaian, kalo enak, cukup unik dan menghibur, atau minimal berapi-api saya insyaAllah pasti sadar dan ndengerin. Ndak kayak kepala suku nugara kita akhir-akhir ini, kalo pidato mbaaca teks dan nada bicaranya rendah mulu. Ngantuk. Gak kayak kepala suku negara kita yang pertama, hehe. Ya semoga tahun depan mendatang kepala suku negara kita berapi-api, trus bisa mengeluarkan kejahiliyahan mental bangsa ini. Bentar, ini kok ngomongin bangsa sih jadinya? Oke, kembali lagi.

Ya, sekapur sirih dari pihak laki-laki masih ku ingat bahwa waktu itu beliau, mengatakan betapa indahnya hidup ini. Beliau menggambarkan seorang anak kecil yang sering bermain bersama orang tuanya kini, sebentar lagi akan menjali hidup dengan mandiri. Beliau menganalogikan sebagaimana indahnya hidup kupu-kupu. Yang awalnya dari ulat yang sulit dikendalikan hingga akhirnya nanti lambat laun berubah selama menjadi kepompong, dan akhirnya hiduplah kupu-kupu yang indah. Beliau bahkan sampai sesenggukan menahan tangis. Well, memang mengharukan.

Tapi sekapur sirih dari pihak wanitalah yang menjadi pelajaran utama ku hari ini. Beliau mengatakan sangat senang menerima calon mempelai laki-laki beserta rombongan keluarganya. Lalu beliau juga berkata bahwa jika diibaratkan, kasarannya anak cewek itu seperti barang dagangan. Kalo cowok itu seperti pembeli, seng nggolek, kasarane ngunu. Nah, saat orang tua kalo anak ceweknya ini ditaksir orang, ya pasti seneng. Soalnya itu berarti barang dagangannya itu ditaksir orang, tinggal orangnya mau beli ndak. Maksudnya beli ya menikah, Kawan. Dan tentu saja, orang tua yang bersangkutan baru merelakan barangnya setelah melihat calon pembelinya luar dan dalam pula.

Oleh karena itulah, anak cewek itu sangat dieman, karena kalo misalnya barang dagangannya itu terusak, maka akan susah. Menjadi aib keluarga. Kau pasti mengerti maksud terusak ini, Kawan. Hingga akhirnya cukuplah kalian bisa mengerti bagaimana rasanya orang tua yang punya cewek yang lagi ditaksir sama cowok. Senang, tapi juga sekaligus was-was, karena seperti dagangan, barang dagangannya itu lagi diamati sama calon pembeli, kalo cocok Alhamdulillah dibeli, tapi kalo calon pembelinya jahannam na’udzubillah, bisa-bisa pecah barangnya.

Dapat kita simpulkan juga bersama bahwa sebenarnya kalo tindakan asusila, misalnya seperti perkosaan, melakukan hubungan intim diluar nikah, dll, selain merupakan dosa besar dan melanggar hukum, tapi juga telah merusak barang dagangan orang dan telah mencuri barang dagangan itu,  coba bayangkan bagaimana perasaan orang tuanya. Atau misalkan pacaran yang kelewatan sampe grepe-grepe, maka bisa digambarkan seperti menggores sedikit barang dagangannya. Misalkan juga ngerebut istri orang lain atau ngrebut pacar orang lain, bisa digambarkan seperti merebut barang dagangan orang. Seperti itu.

Itu analogi yang sangat muasuk sekali bagi ku dan aku merasa bersyukur akan pelajaran yang ku dapat ini. Oleh karena itu, mari yang cowok terutamanya diriku, kita adalah calon pembeli, makan marilah kita jadi calon pembeli yang baik. Kalo memang lagi nyari ya yang halus dan sopan, jangan sampai memecahkan, mencuri, bahkan jangan sampai menggores barang dagangan orang. Terus untuk yang cewek, jangan mau digrepe-grepe, walau mungkin kalian merasa senang digituin (aku ndak tahu sih, tapi mungkin aja ada), tetep jangan mau. Kalo bisa tampar aja tu cowok kalian, putus, move on, masih banyak calon pembeli yang bermartabat perilakunya kayak bangsawan, terus jalan sama gue (lho?). Ini semua juga menjelaskan pandangan ku tentang kedekatan dengan lawan jenis. Boleh aja, pokoknya jangan kelewatan. Kalo bagi kalian yang gak mau ambil risiko, ya mendingan gak usah sekalian, beres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar